Monday, July 4, 2011

sAtu maLam

Malam ini terasa sunyi sekali. Diajeng perlahan merapatkan kain yang sedikit tersingkap angin yang masuk diantara anyaman bambu itu. Sedikit membuatnya dingin, kelelahan jelas terlihat dari raut wajahnya. Di wajah itu tak sedikitpun terlihat gairah, yang terdengar hanya helaan nafas panjangnya. Seolah ingin mengeluarkan semua kelelahan yang ada di dalam tubuh dan pikirannya.

Bunyi binatang malam sedikit memecah keheningan. Ditambah bunyi derit dipan bambu saat Diajeng menghadap pintu seolah ingin membukanya dan lari membelah malam. Matanya menerawang menggapai bayangan yang selalu ingin direngkuhnya. Bayangan yang muncul setiap merebahkan diri di dipan bambu ini. Keinginan yang tiba-tiba muncul menggelitik hati dan pikiran. Ah ... pikiran itu sudah membuat darah Diajeng berdesir ... Darah yang selalu membeku ... tapi berdesir setiap pikiran menerawang.

Tok ... tok ... tok ...
ketukan pintu membuyarkan lamunannya ... Sontak Diajeng beranjak dari tidurnya. Kangmas tidak akan suka melihatnya berbaring. Terburu-buru dirapihkannya rambut yang berantakan. Langsung dibukakannya pintu sambil tersenyum dan mengucapkan salam.

Wajah Kangmas keruh seperti ada yang dipikirkannya. Diajeng tahu pasti ada masalah di perkebunan. Tanpa ingin tahu apa masalahnya. Langsung disiapkannya air hangat untuk mandi dan teh manis hangat kesukaan Kangmas. Diajeng menyiapkan pakaian dan merapikan dipan yang sempat ditidurinya tadi ...

Sayup-sayup terdengar senandung diantara bunyi air, ah pasti air itu sudah mulai bisa menghilangkan penat. Sedikit senyum tersungging di bibir Diajeng, setidaknya ia pun tidak perlu terlalu takut bila amarah itu akan beralih padanya ... seperti biasa ... Tapi senyum itu mendadak hilang dan berganti kegelisahan. Bila Kangmas gembira hatinya sudah pasti menginginkan dirinya. Ah kenapa selalu harus muncul perasaan ini. Diajeng semakin tegang saat tak terdengar lagi senandung itu. Sebentar lagi Kangmas akan memasuki kamar ini, memintanya membantu menghilangkan kelelahan dan melepaskan semua kepenatan.

Ah seandainya semua ini tidak harus terjadi. Pastilah Diajeng tidak akan segelisah ini, seandainya semua bisa dilakukannya dengan senang hati, dengan semua keiklasan penyerahan diri. Malam ini akan menjadi malam yang indah dan selalu ditunggu-tunggunya, layaknya sepasang suami istri yang memadu kasih. Tersentak Diajeng merasakan hangatnya nafas di tengkuk, pelukan Kangmas tidak membangkitkan apapun. Yang ada hanya rasa tidak suka dan penolakan, pasti Kangmas bisa merasakan itu ... tapi mana mungkin seorang pemilik perkebunan seperti Kangmas mau menerima penolakan yang selalu dilakukan Diajeng.

Perlahan direbahkannya Diajeng di dipan bambu. Tanpa sedikitpun melepaskan pelukannya, seolah takut Diajeng akan lari dan meronta. Tapi malam itu Diajeng malas melakukan penolakan, bukan karena hasratnya mulai terpancing tapi karena munculnya keiklasan menyerahkan diri. Keiklasan yang dicoba ditanamkan dalam dirinya yang selama ini selalu enggan dilakukan. Malam ini akan menjadi malam yang panjang, pikiran Diajeng menerawang melanjutkan yang tadi terputus, menerawang membelah pekatnya malam.

Kangmas semakin liar dan tidak memberikan sedikitpun ruang untuk bernafas apalagi bergerak. Diajeng bergerak sesuai keinginan Kangmas dan membiarkan apapun yang ingin dilakukan Kangmas. Perlahan darah yang membeku mulai menghangatkan seiring penyerahan diri yang semakin iklas, tidak peduli derit dipan bersaing dengan binatang malam.

Pikiran Diajeng semakin menerawang jauh berlari mengejar bayangan yang tadi sudah ada di depannya. Sekuat tenaga dikejarnya bayangan itu, tidak peduli onak yang melukai kaki, tidak peduli bukit yang harus di daki, tidak peduli derasnya sungai yang menghadang, tidak peduli gelapnya malam yang menyulitkan pandangan. Terengah-engah Diajeng akhirnya harus berhenti, kaki ini sudah tidak kuat lagi berlari. Bahkan untuk berjalanpun rasanya sulit, akhirnya hanya bisa bersimpuh dengan kaki lemas. Nafasnya memburu seolah tidak ada lagi udara dan bayangan itupun tidak dapat ditangkapnya.

Diajeng tersadar dari lamunannya, ditolehkannya kepala dan dilihatnya Kangmas tersenyum. Diajeng membalas senyum itu dan tak tahu apa artinya. Penyerahan dirinya menyenangkan Kangmas, kelelahan dan masalah Kangmas telah hilang dan malam ini Kangmas akan tidur nyenyak. Tanpa pernah tahu apa yang sebenarnya ada dalam pikiran Diajeng. Kenapa juga harus bertanya seperti itu. Pernikahan ini sudah bertahun-tahun dan ritual inipun sudah bertahun-tahun berlangsung. Hanya keiklasan yang bisa menyelesaikannya.

Kangmas menyeka peluh yang mengalir dan merapikan sarungnya lalu mengecup kening Diajeng. Mengucapkan pujian dan senyum yang penuh arti, lalu melangkah ke kamarnya sendiri utnuk tidur setelah melepaskan semuanya dengan tuntas. Tinggallah Diajeng sendiri di kamar itu, kembali hanya ditemani keheningan dan suara binatang malam. Mata Diajeng masih enggan terpejam, ditatapnya langit-langit kamar seolah mencari yang hilang. Tapi bayangan itu tak muncul lagi, perlahan dimiringkannya tubuhnya yang telah menghadap tembok di tariknya kain tipis menutup tubuh.

Dipejamkannya mata berharap tertidur dan bermimpi ...