Monday, August 19, 2013

sisa aroma hujan


Hujan masih merintik di bibir genteng rumahku. Tempiasnya hantarkan dingin dan basah di lengan bajuku. Aku menyudut dan merapatkan tubuhku pada tembok teras yang sebagian catnya sudah mengelupas.

Hujan seperti tidak peduli dengan bunga-bunga yang kelelahan bergoyang-goyang ditimpa jatuhnya. Juga pada tanah yang tersiksa karena pori-porinya dipenuhi ruah genangan. Sekelebat kutangkap percikan sebuah rindu kepadamu.

Dulu. Hujan inilah yang pernah mengungkung kita pada peraduan terpisah. Alangkah indahnya hujan waktu itu. Gemericiknya bak tetabuhan langit yang manjakan telinga bathinku dan bathinmu yang bersenandung bersama.

Aku lukis namamu pada permukaan kaca yang berembun tertiup dingin di luar I Love You. Dan selalu hujan yang samarkan kelembutan bisikmu di telingaku tentang kebahagiaan itu.

Hujan selalu sisakan aroma pada rerumputan, pada tanah dan pada aspal saat berhenti. Seperti ingin kekalkan keberadaannya pada matahari yang segera menggantinya. Buatku itu tak perlu. Hujan sudah terasa kekal basahi kekeringan di ulu hatiku pada rasa merinduimu.

Hujan tak kunjung berhenti. Ia sengaja mainkan iramanya pada setiap benda di bawahnya untuk menggodaku. Aku menghela nafas. Semakin lama gemericik hujan justru seperti menggerus kekuatan pikiranku satu persatu. Tetesnya tak lagi suarakan harmoni yang menenangkan kebekuanku. Sebaliknya, ia berubah menjadi milyaran tombak yang bersiap menghujam sepi karenamu.

Aku berlari menerobos setiap celah hujan. Dingin dan basah justru samarkan perasaan dan tangisanku memilu. Akankah hujan ini berakhir dan bawa sirna semua rasa ? Entahlah ...

kisah tak bernama


Seluruh bumi basah. Seluruhnya.
Hujan. Kita digulung hujan. Pasir. Ombak. Senja. Pulau-pulau hilang dalam sekejap.

"Hanya kita"
"Ya"
"Semua ditelan hujan"

Aku. Kau. Berpegang tangan. Kita tengadahkan wajah sampai titik-titik hujan meninggalkan rasa nyeri yang menusuk. Kita belajar menghadapi rasa sakit.

"Kau bahagia," tanyaku.
"Kau?"
"Entahlah, mungkin hanya perasaan tak bernama."

Tawamu pecah. Kau memelukku erat.

"Jika mungkin, aku ingin terus melewati hujan bersamamu."

Jika mungkin. Jangan, kekasih. Berhentilah membangun apa pun yang sekiranya hanya akan menipu diri. Pertemuan ini tidak lebih dari perpisahan, kau tahu itu.

"apa kita tidak boleh lagi membangun apa pun yang bisa membuat bahagia."
"Mungkin tidak."
"Mungkin."
"Please ... Aku tidak ingin membahas tentang mungkin. Semua selesai setelah ini, sampai hujan reda. Kita akan pulang, melupakan apa pun yang pernah."
"Jika hujan tak pernah reda."
"Sudahlah. Jangan memaksa begitu."
"Kau berharap hujan segera reda, Kita berpisah, Jadi benar kau lebih mencintainya."
"Kau mulai lagi."
"Aku hanya ingin mendengarnya sekali saja."
"Kemarin sudah kukatakan."
"Hanya lewat telepon. Aku ingin kau mengatakannya saat mataku menatapmu."
"Kau keterlaluan."
"Jadi benar."
"Kau tega."
"Aku atau kau."
"Kau."

Diam. Hanyut. Haru. "Aku tidak ingin percaya, tapi ternyata benar kau lebih mencintainya."
"Itu kesimpulanmu, tapi bisa saja benar."
Angin menghempaskan daun-daun, jatuh dan terserak. Kau menangkapnya sejarak pandang. "Seperti itukah rasanya."
"Apa."
"Terhempas."
"Entah"

Sesuatu yang ngilu merayap. Menyentuh sepasang hati yang basah. Hujan. Lihatlah kita tergenang kesedihan yang bergelombang-gelombang. Kuyup. Kalau kau memang ingin, bawalah aku mengarungi lautmu yang meluap. Tapi kau tidak berani. Tidak ingin. Kau selalu hanya mampu mengulur mimpi. Hingga saat semua menjadi terlambat.

*****

Dalam sisa pertemuan yang merupakan perpisahan tak bernama ini , sesaat, kita meyakini bahwa hidup memang hanya serpihan mimpi saja, sedang kenyataan kita sembunyikan dari ingatan.

Lalu. Kita membuat dunia dalam hujan. Kau mengajakku bermain dengan pasir. Temani aku menciptakan cinta di laut dan pantai, pintamu. Aku memandang wajah basahmu, kujangkau matamu yang dalam. Hujan. Kau, seseorang yang tanpa nama, sekali ini kulihat benar-benar menjadi hujan yang ingin tumpah. Tumpahlah, kekasih. mari kita bermain-main dalam hujan yang romantis ini.
Kau ingin berkata. Kuyakin, berkatalah. Biar kudengar rintik hujan di dadamu. Kuhangati kau dengan kesejatian yang tak pernah terbayangkan.

"Aku ingin kau menjadi hujan bersamaku." Kau meminta.
"Jadikanlah aku hujan."
"Kita akan meresap bersama dalam butir-butir pasir."
"Tentu."
"Kebahagiaan hanya milik kita."
"Aku dan kau."
"Sungguhkah."
"Heeeemm."
"Ulurkan tanganmu."
"Untuk apa."
"Kita pergi sebelum hujan usai."
"Hahahaha. Sudah. Sudah." Aku tertawa, kemudian menangis. Kita amat keterlaluan mempermainkan perpisahan ini.

Kau ingin aku hilang pada musim lain yang datang bulan depan. Bagaimana bisa begitu, kau selalu tidak adil. Sekali waktu kau ingin terpanggang api, pada saat lain kau pinta aku larut denganmu. Menjadi satu musim, hujan. Lalu ia. Lelaki yang kuyakini lebih mencintaiku, akan selalu menantikan kedatanganku selepas musim hujan ini.
Tidak, kekasih. Bukan dendam yang ingin kubawa pada perjalanan yang sedang menungguku. Kita. Mungkin pernah, dan lupakanlah. Aku akan terus menjalani sekian musim. Tidak seperti kau yang hanya ingin menjadi hujan.

tanpa menunggu sampai pagi hujanpun hadir dalam perjalanan malam yang panjang dan melelahkan bibir terasa kering dan kehausan
tak perlu menunggu hingga fajar untuk membasahi bibir yang kering dan menghapus dahaga saat menempuh perjalanan panjang .. hujan telah turun semalam

Tuesday, October 30, 2012

secangkir coklat panas

Perempuan itu menghirup coklat panasnya.
Menyesap segala rasa yang menyertai dengan perih menusuk dada.

Ia lalu melirik jam tangannya. Sudah 2 jam lebih dia di ruangan itu.
Sambil menghela nafas panjang ia melihat ke arah luar melalui jendela berbingkai lebar disampingnya.

Gerimis menyiram bumi. 
Irisan-irisan tipis air itu menerpa kaca yang membuatnya buram.
Juga membuat wajahnya kian muram.

Ini adalah cangkir kedua coklat panasnya. 
Untung saja ia ditemani alunan lagu yang dapat digunakan untuk membunuh sepi yang mengungkung.

Duduk diam memang sebuah pekerjaan yang membosankan, namun baginya, menanti sambil membaca kembali percakapan mereka, selalu menimbulkan sensasi tersendiri dan membuat waktu akan menjadi lebih bersahabat. Selama apapun itu.

Namun tak urung, setelah 2 jam berlalu dan tenggorokannya mulai terasa pahit setelah menelan dua cangkir gelas coklat, membuatnya sedikit senewen. Tapi tak apa, ia berusaha berdamai dengan diri sendiri. 
 
Demi lelaki itu, selalu saja ada pengecualian dan maaf tak bertepi.

Tuesday, December 13, 2011

satu Keyakinan

Kau : sy hanya nggak percaya aja de Alin melakukan itu semua .. untuk saya
Kau : makasih yaa..
Kau : sy jadi tahu bagaimana de bersikap sama saya..
Aku : Mmg sy ga ngelakuin kok
Aku : Makasih dah menganggap sy yg lakukan
Aku : Makasih juga tuk ketidakpercayaannya
Kau : ckckckck
Aku : Terserah mas aja dech
Aku : Sy jdi tahu juga bgmn sikap mas ke saya
Aku : Makasih ya ...
Aku : Tapi sy mmg ga ngelakuin apa2 ..
Aku : Saya aja dah 2 kali ganti password FB krn diberantakin dalamnya
Kau : dah ya .. gak perlu bahas FB lagi ..
Kau : sy dah ikhlas kan..
Aku : Tp sy ga terima kalo saya dituduh2
Kau : hanya bikin sakit hati saja
Aku : Bukan sy yg lakuin kok
Aku : Ya sudahlah kalo mas percaya itu sy yg lakukan .. Makasih ..
Aku : Sepertinya saya harus ganti password lagi .. Terimakasih tuk
ketidakpercayaannya
Aku : saya akan belajar sendiri ttg IT dan tdk akan meminta tolong pd teman siapapun karena sy skrg ga percaya ma siapapun juga
Kau : Allah maha tahu .., dah lah ..
Aku : Iya .. Tuhan pasti tau

Dengan menahan sedih, perlahan disimpannya notebook ke dalam lemari. Alin tidak pernah habis pikir, mengapa Ian begitu yakin dan menuduhnya telah melakukan semua itu. Dan semua bantahan tidak ada satupun yang diterima, sepertinya hanya jawaban “Ya” yang bisa melegakan hati Ian. Lalu apa gunanya percakapan mereka lanjutkan jika pada akhirnya akan saling menyakiti? Alinpun memilih diam dan membiarkan Ian dengan pendapatnya sendiri karena untuk saat ini, itulah yang lebih baik dilakukan.
Alin masih diam merenung dan mengingat semua percakapan mereka, dari awal hingga akhirnya tersenyum sendiri dan bersyukur telah merasakan semua kenikmatan perih dan sakitnya hati. Berusaha tetap tersenyum dan menganggap ini bukan masalah besar tetapi hanyalah bagian kecil dari dinamika percintaan yang sedang dilaluinya. Walaupun rasa tidak terima begitu kuat tetapi Alin tidak memiliki daya apapun untuk merubahnya menjadi seperti yang di mau. Hanya satu keinginan besar untuk menguasai bidang yang selama ini tidak dikuasainya. Bukan untuk membalas apa yang telah dilakukan seseorang kepadanya tetapi untuk menjaga dirinya dari segala tuduhan yang tidak dilakukannya. Tuduhan Ian. Senyum Alinpun muncul kembali setelah lama murung karena kecewa.

Sudah tidak ada lagi yang perlu dijelaskan karena memang tidak semua hal perlu penjelasan. Semakin dijelaskan justru akan menimbulkan perselisihan baru yang tidak akan menyelesaikan persoalan awal. Alin hanya bisa terdiam dan berharap semua ini akan berakhir dengan baik, tidak akan ada lagi yang mengusiknya dengan mengatas namakan cinta. Jika memang benar ada cinta mengapa Ian selalu ingin melihat dirinya tidak pernah bahagia? Apakah hanya karena kehebatannya berbicara hingga bisa mengkondisikan semua terarah padanya? Sampai kapan Alin harus menerima semua keadaan ini ?

Sebenarnya hanya dua kata yang selalu menjadi pegangannya "TETAPLAH KUAT". Alin selalu ingat pada apa yang pernah dibacanya, yang melukiskan kekuatan diri saat menghadapi setiap masalah, meski dalam keadaan tertekan tapi bibir harus selalu bisa tersenyum, menertawakan semua kesedihan hingga tak perlu lagi menangis, memaafkan siapapun yang menghina dan mencelanya. Alin ingin selalu menjadi wanita cantik yang bisa mengasihi tanpa pamrih dan bertambah kuat didalam doa serta pengharapan karena untuk menjadi kuat tidak butuh alasan sebab kuat hanya perlu keyakinan.

PupuS

Ajeng tertunduk lesu, wajahnya menyiratkan duka yang teramat dalam. Aryo meninggalkannya untuk kesekian kalinya, setelah pertengkaran mereka yang tidak pernah jelas ujung pangkalnya. Ajeng harus selalu menerima semua sikap Aryo yang tdk pernah bisa menerima alasan apapun yang diutarakannya. Bukankah seharusnya mereka bisa duduk berdampingan membahas dan mendiskusikannya? Menegur dan saling memaafkan atas dasar cinta? Mereka bersatupun karena cinta, mengapa semua hal tidak bisa diselesaikan atas dasar itu?

Diusapnya air mata yang terus mengalir tanpa mampu dihentikannya, kesalahan yang dibuatnya kali ini benar-benar tak termaafkan, segala permohonan maaf dan penjelasaannya tidak ada yang bisa diterima. Aryo benar-benar tersinggung meskipun Ajeng berulang mengingatkan akan rasa sayang dan cinta mereka, tetap tidak bisa meluluhkannya. Mungkinkah sayang dan cinta yang Aryo ucapkan padanya hanya seolah-olah hingga bisa hilang dalam sekejap? Ajeng kembali terisak dalam diam.

Matanya menerawang langit senja yang indah dengan semburat jingga, betapa senangnya senja yang boleh memilih warna terindah yang pastinya tertuliskan cintaNya. Ajeng terpekur menunduk dan tidak habis pikir dengan semua kejadian hari ini. Apakah Aryo tidak pernah bisa merasakan betapa besar sayang dan cintanya meski dalam diam. Bukankah perasaan itu seharusnya tidak hanya diucapkan tetapi ditunjukkan dengan sikap dan pemberian seperti yang telah dilakukannya hari ini. Bahkan Aryo pernah memberikan bingkisan yang sama tapi Ajeng tak pernah membuatnya jadi sebuah masalah seperti hari ini.

Mata Ajeng semakin sembab, tangisnya tak berhenti menyesali semua yang dilakukannya hari ini. Semula ingin menunjukkan rasa sayang dan cinta tetapi jika tahu akhirnya akan begini, tentu tidak akan dilakukannya. Isak tangis Ajeng semakin dalam, pedih di dalam hati semakin menyesakkan dada. Ucapan Aryo terus terngiang, ingin mengakhiri semuanya. Mengapa semudah itu Aryo meninggalkannya? Apakah kesalahannya begitu tak termaafkan?

Lalu apa yang sekarang harus dilakukannya? Mengakhiri hidupnya? Jadi untuk apa lagi dia menjalani sendiri hari-hari yang seharusnya bisa dilalui bersama? Ajeng berdiri terpaku menatap kosong ke langit senja yang mulai merengkuh malam, tak dipedulikannya lagi air mata yang membasahi pipi dan rambut yang mulai kusut tersapu angin. Matanya nanar memandang gelombang air laut yang menyentuh tepian karang. Ajeng ingin ikut gelombang laut yang datang dan pergi membawa rindu pantai yang tak pernah hilang. Sebuah bentuk kesetiaan gelombang pada pantai.

Pandangannya semakin kabur tertutup air mata yang mengarai, isaknyapun semakin keras, tubuhnya gemetar menahan kesedihan yang amat sangat. Aryo sudah meninggalkannya dan dia memang pantas tuk ditinggalkan karena kesalahan itu tak termaafkan. Untuk apa lagi dia menunggu di sini, Aryo tidak akan pernah datang menjemputnya, mungkin saat ini Aryo sedang bercengkrama dengan istri dan anak-anaknya. Ajeng memang bukan satu-satunya perempuan terkasih di hati Aryo, dia tidak akan pernah mendapatkan tempat sedikitpun di relung hatinya.

Ajeng bersimpuh, kakinya tak kuat lagi menahan berat tubuhnya. Kesedihan itu semakin dalam dan merasuki seluruh jiwanya. Tubuhnyapun lunglai hingga jatuh menyentuh tanah sementara matanya menatap pekat malam yang biasanya penuh kerlip bintang. Jiwanya meronta memohon bulan tuk merengkuhnya dan melebur dalam malam kelam. Isaknya semakin lama semakin pelan dalam senyap dan akhirnya menghilang dala sepi. Tubuhnya sudah tak bergeming lagi, nafasnya semakin lambat tanpa isakan. Jiwanya telah menyatu dalam malam, menemani bulan yang selalu setia pada malam.

Thursday, August 25, 2011

sekeping kenangan

Rambut bulan, malam itu indah tergerai, cahaya remang menyelinap masuk celah-celah rumah. Jalusi rumahmu tentunya juga tertembus. Atau bisa saja masuk ke jendelamu yang lupa kau tutup dengan gorden rapat-rapat. Aku memasuki rumahmu berbarengan dengan keremangannya, pula kesenyapan yang memahami perasaan perempuan. Aku sendiri tak tahu persis, malam itu aku merasakan hal yang sama denganmu.

Kesedihan dan rasa ngilu, ketika cinta dikoyak-moyak. Aku lihat pasfoto yang biasa kau banggakan telah jatuh, pecah tergeletak di ruang tengah rumah. Pasfoto yang kau ceritakan dengan semangat dan berapi-api pada keluargamu dan sahabatmu. Foto pernikahanmu yang kau dokumentasikan juga lewat video. Pernikahanmu dengan seorang lelaki yang tak kukenal. Aku selalu terpaku bisu memandangi semua itu. Kau, betapa cantiknya mengenakan gaun putih yang aku tahu itu, kau pesan jauh hari sebelum pesta dilangsungkan. Dan dulu aku sempat membayangkan akulah akan bersanding di pelaminan bersamamu. Aku memakai jas yang hitam nan elegan yang sengaja--lagi-lagi kau pesankan, kau pilihkan.

Lalu. Kau berbulan madu di segala penjuru negeri yang indah, memetik candu kebahagian. Ah, aku tak bisa membayangkan itu. Karena aku ternyata tak sampai bisa bersamamu.

Sudahlah, aku malam ini adalah tamu untukmu. Mengendarai kesunyian rumah tangga. Ketika orang-orang sedang terlelap, aku menjengukmu. Tapi. Kau tak kutemukan sedang tidur terlelap malam ini. Bebarengan dengan suamimu itu. Kau malah sedang menangis di meja riasmu. Make up-mu luntur, berlumuran air mata. Aih, kenapa denganmu. Ada apa? Bolehkan waktu sedikit saja kutumpahkan kembali ke masa lalu. Agar kutahu apa yang membuatmu sedih begitu tersedu? Pilu.

***

Perempuan itu masih memegang tas kerja suaminya, sebelum pergi kerja. Kecup manis di bibirnya lebih dari kopi nikmat yang disuguhkannya. Mereka baru saja menikah, sebulan lalu. Begitu manis setiap detiknya yang bergeser. Penuh kebersamaan. Makan pagi-siang-malam penuh pujian. Tidur malam tak lagi ada kesendirian. Cari uang begitu penuh semangat. Dan rumah, seakan berubah menjadi tempat bagai surga. Serasa waktu selalu berputar tetap di tempat yang sama. Tentang kebahagian dan cinta.

"Cepat pulang, Sayang!" ucap perempuan dengan wajahnya yang manis.

"Aku langsung pulang begitu jam kerja selesai."

Dilepasnya suami di mulut pintu. Lambaian tangan dan sejumput doa selalu terlintas begitu saja. Di lemparnya seketika. Bahkan punggungnya yang selalu didakinya itu tak pernah dibiarkan hilang dari tatapan. Ia pandang lekat-lekat punggung yang mulai menjauh itu. Yang kemudian hilang ditelan jarak atau menelikung di kelokan jalan.

Iapun masuk dan menutup pintu rapat-rapat. Dengan berharap suaminya akan mengetahuinya, bahwa ia begitu teramat mencintainya.

"Jaga rumah dan jangan ke mana-mana?" Pesan suaminya itu, bila ia hendak keluar rumah. Selalu mengiang di telinganya.

Perempuan ini memang seorang istri yang baik. Begitu suaminya keluar rumah untuk kerja ia tak pernah menyia-nyiakannya. Dia isi dengan segala rutinitas sebagai seorang istri pada umumnya. Membereskan rumah, mulai dari membersihkan perabotan dapur dengan mencucinya. Membersikan sofa dan lemari, ruang kerja. Mengepel lantai rumah. Dan merapihkan kamarnya. Mencuci pakaian. Menyiapkan masakan yang nanti akan disuguhkannya begitu suaminya itu pulang. Kadang ia mencoba menu masakan yang lain yang ia temukan resepnya di sebuah majalah. Semua itu hanya untuk membahagiakan suaminya.


Bila segala pekerjaan sudah selesai. Dan tak ada lagi yang musti diselesaikan. Mulai dari ruang depan sampai halaman belakang dibereskan, dia terkadang menikmati album kenangan. Sebuah album yang begitu membuatnya sejuk. Ia pandang album itu seperti menemukan potongan masa lalu. Ia bolak-balik tanpa bosan. berulang-ulang. Hingga tak terasa waktu pun begitu saja berlalu di sampingnya.

***
Suaminya adalah lelaki yang tampan, menyukai kesederhanaan. Ia pekerja kantoran yang santai. Ia bekerja di sebuah penerbitan buku bacaan. Kadang tulisan-tulisannya dimuat di beberapa koran. Bertemu dengannya karena ulah kedua orang tua mereka. Karena bapaknya adalah sahabat karib semasa mudanya. Kebetulan juga mereka berasal dari kampung halaman yang sama, sebuah perdesaan yang dekat kekerabatannya, kuat darah pesaudaraan adat-istiadatnya.

"Jangan tangisi orang yang sudah meninggalkanmu!" Bapak menasihati. Perempuan yang saat itu baru ditinggal pergi kekasih yang telah lama bersamanya. Kekasihnya yang sempat berjanji melamarnya bahkan semua orang sekampungnya menganggap mereka akan menjadi pasangan abadi.

Orang tuanya sibuk dibuatnya. Karena pekerjaan anaknya hanya mengucurkan air mata sambil memandangi sebuah album yang selalu dibawa dan jaga ke mana-mana. Sebuah album yang bisa ia pandangi berjam-jam, berhari-hari. Hingga lupa makan. Dan seakan melupakan segelanya, termasuk hidupna. Akhirnya tak ada jalan keluarnya selain harus segera menggantikan orang yang dicintainya dengan yang lain. Agar bisa cepat melupakan lelaki yang ada pada album itu, kedua orang tuanya berniat menikahkan anaknya.

Hingga akhirnya dalam keterpurukan, kesedihan atas kepergiannya, Suaminya datang mengulurkan tangan dan harapan. Dia sekuat apa pun, pada saat itu merasa hancur akibat perpisahan yang begitu sangat memilukan. Hati nyapun mencair juga, ketika melihat kesungguhan dengan keterbukaannya dan perasaan menerima apa pun adanya. Akhirnya luluh, dan memutuskan menikah. Cinta dicoba, dipupuk dengan penuh cita.


***

Bila perempuan itu bosan menunggui suaminya yang masih sibuk mengedit naskah di kantor, ia menelpon ibunya.

"Bu, bagaimana kabarnya? Bapak juga baik-baik saja!" Dia di seberang telpon rumah, bertanya kabar melepas kangen.

"Alhamdulillah. Kau sendiri dengan suamimu bagaimana kabarnya?" Ibu menjawab dengan suaranya yang khas. Begitu membuatnya semakin kangen saja.

"Kami di sini baik semua berkat doa Ibu-Bapak. Bu, apakah pernah ada surat untukku yang diposkan ke rumah?" Dia akhirnya bertanya perkara yang selalu sama. Setiap kali menelpon rumah orang tuanya, selalu pertanyaan yang sama diajukannya. Dan ketika ibunya kembali bertanya "dari siapa?" Dia akan memberikan jawaban yang mengaburkan, kadang ia sekenanya saja. "Ya misalnya dari sahabatku atau dari beberapa panitia lomba yang sedang aku ikuti". Dan ketika ibunya menjawab tak pernah ada surat ditujukan padanya, Dia selalu kehilangan gairah bercakap-cakap lagi. Terasa sekali ia tak sesemangat perbincangannya yang pertama.

"Bu, kalau begitu saya sudahi dulu, lain waktu saya akan menelpon lagi. Sekarang mau ke dapur dulu." Menutup perbincangan anak dan ibu.

"Iya, kalau begitu ya sudah. Kamu jaga dirimu dan suamimu. Ingat jangan sampai begitu suamimu pulang rumah masih berantakan dan masakan belum siap dihidangkan. Beri suamimu kesan rumahmu, surgamu!" Ibu dengan nada menggebu-gebu akhirnya menutup telponnya, setelah ia mengiyakan semua nasihatnya.


***

Bulan demi bulan menggenapkan almanak menjadi tahun. Dan hitungan delapan tahun pun menginjakkan usia pernikahan. Semula pada beberapa tahun pertama terasa kebahagian terbina. Segalanya penuh suka-cita. Namun, mengapa tak ada hidup tanpa ujian dan kegoyahan. Ketawakalan yang selalu rapuh. Kepasrahan yang selalu goyah. Rumah tangga kini seperti sebuah perahu yang dihuni dua orang melayari samudra, kadang harus tertumbuk karang, dihantam ombak kecil-besar, bahkan kadang badai besar. Tapi semua itu, setelah usai dan redam kadang selalu ada kebahagian. Hingga saat itu tiba, suaminya pernah memergoki dia sedang asyik tersenyum sendirian memandangi sebuah album kenangan. Sebuah album yang berisi foto-foto lelaki yang dulu kekasihnya. Lelaki yang meninggalkannya ketika masih mahasiswa. Dalam album itu tampak sesosok lelaki yang sedang berduaan dengan istrinya itu.

"Kau masih tidak bisa melupakannya. Kau anggap aku ini apa?" suaminya begitu marah. Sorot matanya yang merah menandakan bahwa ia benar-benar merasa telah diinjak-injak harga dirinya.

"Apa artinya pernikahan kita ini bila di pikiranmu masih ada lelaki lain, selain suamimu ini?" sambil menghamburkan segala kekesalannya. Istrinya hanya bisa diam membisu seribu bahasa.

Perempuannya merasa begitu bersalah. Ia kehabisan ulah. Dan entah apa lagi yang harus ia perbuat.

Semenjak pertengkaran itu, suaminya jadi jarang pulang. Makan di luar, kalau pun pulang sekadar mengganti pakaian dan pergi keluar lagi. Entah apa sebabnya hingga ia begitu murkanya. Tapi ia bukan tidak merasa bersalah, dan tidak meminta maaf. Beribu kali ia meminta maaf pada suaminya. Tapi kini semua berbalik, Suaminya selalu diam, tidak membuka mulutnya. Seakan-akan kesalahannya tak bisa dimaafkan. Padahal bila suaminya meminta sesuatu padanya untuk bisa memaafkannya, dia akan berusaha mengabulkannya.

Hingga pada malam jahanam itu harus datang juga. Mereka terlibat perselisihan hebat. Kata-kata yang tidak pantas keluar dari mulut mereka berdua. Kata-kata yang sering dipakai dalam pertengkaran seorang lelaki-perempuan dilanda kebencian. Kehilangan kepercayaan. Ketakcocokan. Saling menyalahkan satu sama lainnya. Suaminya telah menjalin hubungan dengan perempuan lain. Sementara dia semakin menjadi-jadi dengan kebiasaannya memandangi lelaki pada album foto. Dan tidak dimungkiri lagi, dia selalu bilang ia masih mengingat kekasihnya yang dulu, yang telah lama meninggalkannya. Tapi dia tidak percaya sepenuhnya. Ia meyakini kekasihnya masih menunggunya di luaran sana. Dia masih berharap kabar setidaknya secarik surat yang menjelaskan padanya, ketakbisaannya pulang menemuinya.


***

Rambut bulan, malam itu begitu indah tergerai, cahaya remang menyelinap masuk ke celah-celah rumah. Jalusi rumahmu tentunya juga tertembus. Atau bisa saja masuk ke jendelamu yang lupa kau tutup dengan gorden rapat-rapat. Aku memasuki rumahmu bebarengan dengan keremanganya, pula kesenyapan yang memahami perasaan perempuan. Aku sendiri tak tahu persis, malam itu aku merasakan hal yang sama denganmu. Kesedihan dan rasa ngilu, ketika cinta dikoyak-moyak. Aku lihat pasfoto yang biasa kau banggakan telah jatuh, pecah tergeletak di ruang tengah rumah. Pasfoto yang kau ceritakan dengan semangat dan berapi-api pada keluargamu dan sahabatmu. Foto pernikahanmu yang kau dokumentasikan juga lewat video. Pernikahanmu dengan seorang lelaki yang tak kukenal. Aku selalu terpaku bisu memandangi semua itu, Kau, betapa cantiknya mengenakan gaun putih yang aku tahu itu, kau pesan jauh hari sebelum pesta dilangsungkan. Dan dulu aku sempat membayangkan akulah akan bersanding di pelaminan bersamamu. Aku memakai jas yang hitam nan elegan yang sengaja lagi-lagi kau pesankan kau pilihkan.

Ada sisa pertengkaran hebat yang kau siratkan dari tangisanmu.

Tangisanmu seperti jerit luka yang sangat perih. Apakah ada yang melukaimu? Aku selalu ingin membahagiakanmu, dan tak ingin menyaksikanmu begitu terluka. Sedang aku, begitu tak berdaya.

"Kau kenapa masih terduduk menangis memandangi album kenangan itu? Album foto-foto kita berdua semasa remaja. Ketika dunia yang kita tumpangi sama?" Ketika kubertanya tentu saja kau tak mampu menangkap suara dari dunia yang berbeda.


***

"Aku masih mengharapkan kau menepati janjimu, melamarku." istrinya mendekap album kenangan yang masih ia bawa-bawa dan ia jaga. Air mata tak pernah bisa memuaskan hatinya.

"Kau tahu, suamiku yang selalu kuharapkan akan bisa menggantikanmu. Tadi pagi kusaksikan sedang berduaan dengan perempuan yang tak kukenal. Mereka berdua masuk ke sebuah penginapan. Setelah kubuntuti, dan kucari informasi, mereka memesan satu kamar. Dan betapa tak mengerti aku harus memahami."

Dia seperti sedang bercerita kepada seseorang. Mungkin ia hanya bisa menumpahkan kesedihannya pada album kenangannya. Berharap sesosok lelaki yang terpampang di lembaran album itu mendengarkan kisahnya dan memeluknya menenangkan.

menangkap gerimis

Padang rumput yang selalu indah, dan basah di pagi hari. Butiran embun yang menempel di rumput berpindah ke pantatku setelah aku duduk di atasnya. Di antara kabut tebal dan anganku sendiri, berkelebat peristiwa beberapa tahun lalu. Saat aku masih seorang gadis kecil. Bayangan itu semakin jelas tertangkap indera penglihatku, yang sekaligus membawaku lebih jauh dari realita.

Kaki kecil itu menari, melompat, berputar dengan lincah. Tangan kecilnya pun tak henti-hentinya berusaha menangkap gerimis. Sedangkan seorang bocah lelaki yang bersamanya, hanya duduk, tertawa terpingkal-pingkal sambil sesekali berteriak memberi semangat, "Ayo tangkap, tangkap gerimisnya !".

Lelaki teman kecilku. Tapi aku lebih suka menyebutnya belahan jiwaku. Kami banyak menghabiskan waktu bersama. Terlebih saat gerimis. Lelaki kecilku selalu membawaku ke tempat ini dan menemani bermain gerimis meskipun orangtua kami tak pernah bosan melarang keluar rumah saat hujan. Ya, alasan wajar para orangtua karena tidak menginginkan anak mereka sakit. Tapi kami tetap bocah kecil yang hanya mengerti tentang bersenang-senang.

Dia paling mengerti aku, setidaknya itulah anggapanku dulu. Dia bahkan rela telinganya dijewer ibuku gara-gara membawaku kabur. Satu-satunya alasan bertahan adalah karena dia tahu kalau aku amat suka gerimis, melebihi seluruh boneka yang kumiliki di rumah.

Tidak ada satupun yang tau tentang rahasia Tuhan. Gerimis yang tadinya sangat kucintai mendadak membuatku muak dan menjadi salah satu hal yang tak lagi ingin kusentuh. Aku sadar ini rencana Tuhan. Dia mengambil sebelah jiwaku untuk kembali ke sisiNya. Membiarkanku sendiri bersama gerimis yang kini seolah menghujam kepalaku teramat keras. Bayangannya selalu muncul di balik gerimis.

Sekian belas tahun berlalu. Aku kembali ke tempat ini disaat langit abu-abu. Muncul keyakinan kalau sebentar lagi akan hujan. Aku sengaja menantang hatiku untuk tidak lagi terpuruk. Aku ingin menyentuh gerimis dan bayangannya untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun itu.

Gerimis menerpa wajahku ketika aku menengadah ke atas. Aku dapat merasakan dia masih duduk di sampingku sambil tersenyum. Aku pun tersenyum meskipun dengan air mata yang bercampur gerimis. Aku ikhlas demi lelaki kecilku, juga demi seseorang yang saat ini datang dan membentangkan payung di atas kepalaku.

Terima kasih Tuhan telah mengirimkan "lelaki kecil yang lain" di kehidupanku.