Monday, August 19, 2013
kisah tak bernama
Seluruh bumi basah. Seluruhnya.
Hujan. Kita digulung hujan. Pasir. Ombak. Senja. Pulau-pulau hilang dalam sekejap.
"Hanya kita"
"Ya"
"Semua ditelan hujan"
Aku. Kau. Berpegang tangan. Kita tengadahkan wajah sampai titik-titik hujan meninggalkan rasa nyeri yang menusuk. Kita belajar menghadapi rasa sakit.
"Kau bahagia," tanyaku.
"Kau?"
"Entahlah, mungkin hanya perasaan tak bernama."
Tawamu pecah. Kau memelukku erat.
"Jika mungkin, aku ingin terus melewati hujan bersamamu."
Jika mungkin. Jangan, kekasih. Berhentilah membangun apa pun yang sekiranya hanya akan menipu diri. Pertemuan ini tidak lebih dari perpisahan, kau tahu itu.
"apa kita tidak boleh lagi membangun apa pun yang bisa membuat bahagia."
"Mungkin tidak."
"Mungkin."
"Please ... Aku tidak ingin membahas tentang mungkin. Semua selesai setelah ini, sampai hujan reda. Kita akan pulang, melupakan apa pun yang pernah."
"Jika hujan tak pernah reda."
"Sudahlah. Jangan memaksa begitu."
"Kau berharap hujan segera reda, Kita berpisah, Jadi benar kau lebih mencintainya."
"Kau mulai lagi."
"Aku hanya ingin mendengarnya sekali saja."
"Kemarin sudah kukatakan."
"Hanya lewat telepon. Aku ingin kau mengatakannya saat mataku menatapmu."
"Kau keterlaluan."
"Jadi benar."
"Kau tega."
"Aku atau kau."
"Kau."
Diam. Hanyut. Haru. "Aku tidak ingin percaya, tapi ternyata benar kau lebih mencintainya."
"Itu kesimpulanmu, tapi bisa saja benar."
Angin menghempaskan daun-daun, jatuh dan terserak. Kau menangkapnya sejarak pandang. "Seperti itukah rasanya."
"Apa."
"Terhempas."
"Entah"
Sesuatu yang ngilu merayap. Menyentuh sepasang hati yang basah. Hujan. Lihatlah kita tergenang kesedihan yang bergelombang-gelombang. Kuyup. Kalau kau memang ingin, bawalah aku mengarungi lautmu yang meluap. Tapi kau tidak berani. Tidak ingin. Kau selalu hanya mampu mengulur mimpi. Hingga saat semua menjadi terlambat.
*****
Dalam sisa pertemuan yang merupakan perpisahan tak bernama ini , sesaat, kita meyakini bahwa hidup memang hanya serpihan mimpi saja, sedang kenyataan kita sembunyikan dari ingatan.
Lalu. Kita membuat dunia dalam hujan. Kau mengajakku bermain dengan pasir. Temani aku menciptakan cinta di laut dan pantai, pintamu. Aku memandang wajah basahmu, kujangkau matamu yang dalam. Hujan. Kau, seseorang yang tanpa nama, sekali ini kulihat benar-benar menjadi hujan yang ingin tumpah. Tumpahlah, kekasih. mari kita bermain-main dalam hujan yang romantis ini.
Kau ingin berkata. Kuyakin, berkatalah. Biar kudengar rintik hujan di dadamu. Kuhangati kau dengan kesejatian yang tak pernah terbayangkan.
"Aku ingin kau menjadi hujan bersamaku." Kau meminta.
"Jadikanlah aku hujan."
"Kita akan meresap bersama dalam butir-butir pasir."
"Tentu."
"Kebahagiaan hanya milik kita."
"Aku dan kau."
"Sungguhkah."
"Heeeemm."
"Ulurkan tanganmu."
"Untuk apa."
"Kita pergi sebelum hujan usai."
"Hahahaha. Sudah. Sudah." Aku tertawa, kemudian menangis. Kita amat keterlaluan mempermainkan perpisahan ini.
Kau ingin aku hilang pada musim lain yang datang bulan depan. Bagaimana bisa begitu, kau selalu tidak adil. Sekali waktu kau ingin terpanggang api, pada saat lain kau pinta aku larut denganmu. Menjadi satu musim, hujan. Lalu ia. Lelaki yang kuyakini lebih mencintaiku, akan selalu menantikan kedatanganku selepas musim hujan ini.
Tidak, kekasih. Bukan dendam yang ingin kubawa pada perjalanan yang sedang menungguku. Kita. Mungkin pernah, dan lupakanlah. Aku akan terus menjalani sekian musim. Tidak seperti kau yang hanya ingin menjadi hujan.
tanpa menunggu sampai pagi hujanpun hadir dalam perjalanan malam yang panjang dan melelahkan bibir terasa kering dan kehausan
tak perlu menunggu hingga fajar untuk membasahi bibir yang kering dan menghapus dahaga saat menempuh perjalanan panjang .. hujan telah turun semalam