Tuesday, June 7, 2011

Buat Kamu

Dimanapun kamu berada saat ini ...
Kamu harus tahu bahwa aku tak akan pernah menyesal mengenalmu lalu jatuh cinta. Aku tak akan pernah berharap akan jatuh cinta pada tempat yang salah. Bahkan aku tak pernah menduga akan bisa jatuh cinta. Aku memang sering suka, tapi aku belum pernah merasa jatuh cinta. Cuma sekedar kagum dan suka. Aku tak pernah merasa begitu menyayangi, tak pernah merangkai mimpi mereka akan menjadi seseorang yang akan mendampingiku dalam suka dan duka. Tapi entah denganmu perasaanku jadi lain. Yang jelas baru kali ini aku merasakan perasaan sayang yang sangat dalam.

Dimanapun kamu berada saat ini ...
Perlu kamu ketahui bahwa kamu adalah seorang yang petama kali mampu menggugah perasaanku serta membawaku terbang ke tanah kasih yang agung, dimana hari-hari berlalu laksana mimpi. Kamu adalah "adam" bagi jiwaku, yang selalu menghabiskan waktu lamunku. Ingin sebenarnya aku melupakan kamu untuk sejenak, agar aku dapat menikmati hari-hari tanpa bayangmu. Tapi ... ternyata aku tak bisa.

Dimanapun kamu berada saat ini ...
Akankah kamu percaya bila kukatakan bahwa aku bahagia dengan cinta yang kupunya. Dan akan kutitipkan cintaku itu pada bintang di langit agar kilaunya tetap kekal sepanjang masa. Biarkan angin yang membisikkan anganku, biarkan hujan yang mencurahkan mimpi di hatimu. Kamu akan tetap menempati sisi kehidupanku yang berarti, tetap menjadi bagian hidupku tanpa berubah peran.

Dimanapun kau berada saat ini ...
Bagaimanapun juga kuucapkan terimakasih untuk semua yang telah kamu lakukan, kamu berikan buatku. Meskipun kamu akan meninggalkan dan melupakanku. Tapi tolong jangan minta kepadaku untuk melupakanmu, sebab aku yakin aku tak akan bisa. Aku akan mengenangmu sebagai sesuatu yang indah yang pernah terjadi dalam hidupku.

Dimanapun kau berada saat ini ...
Ketahuilah bahwa malam ini, saat kutatap rembulan, entah salam atau tembang abadi yang membisik dalam lelapku. Namun yang pasti ada seungkap doa yang akan selalu kukirimkan untuk keselamatan dan kebahagiaanmu.

Sepenggal Cerita

"Rasanya begitu berat untuk berpisah denganmu. Sebenarnya aku tak sanggup." ucap perempuan itu pelan sambil menatap lembut lelaki yang duduk di sampingnya. "Aku ingin selalu bersamamu setiap saat karena berada di sampingmu telah membuatku amat bahagia" lanjutnya lagi, kali ini dengan tekanan.

Lelaki itu menggenggam erat jemari tangan dan mengecup keningnya dengan lembut. Mungkin untuk megusir keresahan dan ketakutan yang ia tangkap dalam sinar mata dan intonasi perempuan itu. "Pun demikian denganku, aku tak ingin melepaskanmu pergi," ucap lelaki itu dengan intonasi dan tekanan yang nyaris sama dengan perempuannya.

Sejenak perempuan itu memejamkan mata, merasakan sentuhan lembut dari tangan dan bibir lelaki yang mendarat lagi di keningnya. Ia mengangkat wajahnya, menatap lekat-lekat wajah lelaki itu, lelakinya. Saat itu pandangan mereka bertemu. Mereka sama-sama terdiam dan terhanyut dalam tatapan. Jemari tangan saling menggenggam, seolah saling menguatkan dan menenangkan. Tak ada satu pun kata yang terucap dari bibir mereka, namun sepertinya mata mereka yang berbicara banyak. Ada percakapan dalam kebungkaman yang membuat keduanya mengerti dengan apa yang mereka rasakan.

Lantas perempuan itu memeluk lelakinya begitu erat, seolah tak ingin melepaskannya. "Aku sangat mencintaimu, sekali lagi aku ulangi aku amat sangat mencintaimu" katanya di sela isak yang tertahan. "Aku takut kau akan tinggalkanku. Sangat takut" lanjutnya lagi terbata-bata. Kini isaknya tak lagi samar, sudah jelas terdengar meski pelan. “Apalagi setelah kau bilang temanmu semalam mengatakan bahwa cinta yang kupunya hanyalah sebesar kerikil sementara cinta yang kau miliki sebesar rumah, aku takut kau akan berubah pikiran lalu meninggalkanku” nadanya begitu sedih. "Aku yakin di luar sana banyak yang menawarkan hatinya untukmu, aku takut kau akan berpaling. Aku tahu mereka lebih indah dan cantik dariku," suaranya begitu cemas dengan nada yang lebih mirip sebuah gumaman.

"Hei, kumohon cukupkan" lelaki itu mengingatkan. Iapun memeluk semakin erat. Ia ingin perempuannya bisa merasakan betapa ia amat sangat menyayanginya, begitu mencintainya hingga tak ingin melepasnya pergi. "Yang harus kau ketahui, aku tak pernah peduli betapapun indah dan cantiknya yang lain itu. Buatku engkaulah yang terindah."

"Namun aku selalu siap dengan hal terburuk yang mungkin saja terjadi, jika itu benar-benar mesti terjadi. Aku rela jika memang kebahagiaanmu ada bersama dengan yang lain. Tanpa kau perlu mengatakan bahwa cepat atau lambat aku yang akan pergi meninggalkanmu karena menemukan yang lebih ku cintai dan kau hanyalah batu loncatan bagiku" ucap perempuan itu begitu lirih sambil meneteskan air mata

"Kumohon kekasih," lelaki itu menyela lagi. "Aku tak ingin mendengarmu mengatakan hal seperti itu lagi. Apa kau tidak merasakan besarnya cintaku?" "Aku tak mungkin meninggalkanmu " ucapnya sambil mengusap air mata perempuannya

“Mengapa kau terlihat begitu yakin atas ucapan temanmu semalam ?” kali ini perempuan itu yang menyela. “Jika kau begitu yakin bahwa aku akan meninggalkanmu, untuk apa kita jalani hari bersama. Atau kau merasa aku tak pantas untukmu. Kau begitu baik untukku. terlalu baik malah. Aku hanyalah ........."

"Hanya seorang perempuan dengan masa lalu yang kelam ?" lelaki itu memotong lagi "Lalu ada masalah apa dengan itu semua ? Heuh ?" wajahnya menegang dan nadanya sedikit tinggi. "Aku tak pernah pedulikan itu."
"Aku mencintaimu," potong lelaki itu yakin. "Awalnya mungkin memang hynya sebuah simpati, Tapi apakah kau kira rasa itu tak mampu berkembang ? Aku yakin tak salah dalam menilai perasaanku padamu. Kesederhanaan, ketulusan dan kejujuranmu. Itu semua sudah cukup untuk membuat rasa itu terus berkembang hingga aku tahu bahwa aku mencintaimu" lanjut lelaki itu. "Aku mencintai apapun dirimu. Aku mencintaimu apa adanya. Aku tak peduli dengan semua kekelaman yang ada dalam masa lalumu, bila memang kau anggap masa lalumu begitu kelam. Itu semua tak akan merubah perasaanku kepadamu.”

Rona wajah perempuan itu seketika berubah meski dengan air mata yang membasahi pipinya. "Kau sungguh-sungguh dengan apa yang kau katakan barusan?" tanyanya.

Lelaki itu mengangguk pelan dengan sebuah senyum di wajahnya. "Yakinlah," katanya. “Tetapi berikanlah aku juga keyakinan bahwa cintamupun akan mampu berkembang dan kita menjalani dengan sebuah keyakinan bahwa setiap niat baik akan mendapatkan restu dan perlindunganNya sebab kita tidak hanya antara aku dan kau tetapi Dia yang selalu ada diantara kita” sambil menatap hangat perempuannya.

"Ah, terimakasih." ucap perempuan itu sedikit lirih sambil menyeka air mata yang masih tersisa. "Aku tak sanggup membayangkan bila hal itu benar-benar terjadi."

Lelaki itu melihat jam yang bergantung diatas langit-langit stasiun, jam tiga kurang lima belas menit. Ini berarti lima belas menit lagi kereta api itu akan melaju, membawa para penumpangnya ke kota tujuan. Membawa perempuannya pulang ke kotanya. Membawa perempuan itu jauh darinya dan meninggalkannya dengan kesendirian, sesuatu yang sudah sejak lama ia akrabi. "Aku turun sekarang ?"

"Sekarang ?" perempuan itu bertanya. Nadanya tidak rela, persis sama dengan tatapannya.

"Ya," jawab lelaki itu pelan sambil mengangguk. "Aku harus jalan sekarang agar tidak kemalaman sampai di kotaku."

"Kapan kita akan bertemu lagi?"

"Bukankah setiap hari kita akan bertemu dalam mimpi-mimpi malam. Kau akan selalu menjadi tokoh utama dalam setiap cerita mimpiku dan menjadikanmu bunga tidurku yang paling indah" goda lelakinya sambil menahan senyum

"Bukan itu yang kumaksud. tapi secara nyata.", sahut perempuan itu sambil tersenyum malu

"Pertengahan bulan depan kita akan bertemu di kotamu," lanjut lelakinya

Perempuan itu mengangguk pelan dengan senyum di bibirnya. "Aku selalu menunggu kedatanganmu."

Lalu perempuan itu menicum tangan lelakinya dan lelaki itu mengecup lagi pipi dan kening perempuannya dengan lembut. Sebuah kecup perpisahan dan lambaian tangan. Setelah itu ia pun bergegas pergi meninggalkan gerbong tersebut. Masih ada beberapa mata yang menatapnya dengan tatapan heran.

Dan perempuan itu membiarkan lelakinya melangkah pergi, meninggalkannya duduk sendirian walaupun ia masih belum rela dengan perpisahan itu. Takut, tiba-tiba saja rasa itu kembali hadir, ingin ia memanggil
lelakinya itu, namun terlambat. Punggung lelakinya sudah tidak tampak, begitu cepat dia melangkah. Lantas ia melihat dari jendela, mengedarkan pandangan keluar, berharap melihat lelakinya ada di bawah untuk melepas kepergiannya sambil melambaikan tangan, namun lelakinya itu tak ada di sana seperti yang diharapkan. Tanpa disadarinya, ada aliran hangat yang menggenang lagi di sudut matanya.

Mengapa begitu cepat waktu berlalu? Mengapa begitu singkat pertemuan ini ? Mengapa kebersamaan ini mesti berumur pendek ? Bathin perempuan itu masih belum rela. hanya sebentar mereka bertemu dan menikmati kebersamaan. Namun itu sangatlah indah. Begitu indah. Mungkin yang terindah baginya.

Waktu menunjukkan pukul 15.00 kereta mulai bergerak pelan, membawa kenangan, asa dan harapan serta keyakinannya. Perempuan itu membuka lagi ponselnya, ia masih menulis pesan "Mengapa kau langsung pergi? Sebenarnya aku berharap masih bisa melihatmu tadi saat kereta melaju"

Ponselnya bergetar, ada pesan masuk. Segera ia membukanya "Maafkan aku tak menemanimu hingga kereta berlalu. Aku tak ingin kau melihatku bersedih, aku langsung meninggalkan stasiun dan melanjutkan perjalanan karena aku ingin berbagi kesedihanku dengan semua yang kulalui. Sedih karena harus berpisah denganmu, kekasihku." Begitu isi pesannya. Pesan yang menyebabkan matanya langsung terbuka lebar. Pesan yang membuatnya kembali menitikkan air mata. Pesan yang semakin membuatnya yakin akan cinta lelakinya itu. Pesan yang menguatkannya untuk menjalani semua yang telah digariskan oleh Sang Pemilik Segala.

Pertemuan Senja

Senja itu, saat jam kerja di atas pukul tiga, kutemui sosokmu yang berdiri tegap seakan menantiku tuk menepati janji di depan counter salah satu maskapai penerbangan domestik. Hai ... ! sapaku seraya tersenyum begitu kau melihat ke arahku seolah-olah telah hafal dengan irama detak sepatuku atau hanya nalurinya saja yang mengabarkan kehadiranku. "Yuuk kita cari tempat ngobrol yang enak," ujarmu, lantas tanpa menunggu lagi, kitapun perlahan meninggalkan tempat dan mencari sudut yang tenang untuk cengkeramai senja. Di sudut sebuah cafe yang tidak seberapa ramai, aku duduk dihadapanmu dan memesan orange juice lalu menanyakan oleh-oleh yang sempat kau ucapankan di dalam percakapan telepon kita beberapa saat yang lalu, sekedar menutupi rasa jengahku atas pertemuan itu.

Lantas percakapanpun mengalir, kita bercerita tentang apa saja yang terlintas di benak sambil sesekali melempar senyum dan kerlingan. Begitulah, aku tak pernah menghitung percakapan kita yang keberapa dalam sekian lama waktu bergulir. Pada mulanya aku tak mengerti mengapa kamu mau bertemu denganku dan betah menunggu hingga aku datang. Apakah aku memang pantas untuk ditunggu?. Benarkah karena rasa sayang seperti yang selalu kau ucapkan? Ataukah hanya sekedar menyenangkan aku yang sudah meninggalkan rutinitas tuk hadir senja itu di hadapanmu?

Kunikmati setiap percakapan kita dengan latar pendar cahaya senja sebab aku tak pernah merasakan hal demikian sebelumnya. Bukankah sesuatu yang aneh jika aku duduk sendirian di tempat ini hanya untuk mengagumi panorama senja, seolah tak ada hal lain yang perlu kulakukan. Sebab aku berpikir betapa tidak lazimnya kaum lelaki jika meromantisasi senja sedemikian rupa dengan dramatisasi yang berlebihan. Barangkali kau bukan termasuk tipe lelaki yang demikian dan rasanya tidak butuh kawan untuk menghayati senja, tidak hanya seorang diri semata.

Cinta ... mungkin bagimu adalah sesuatu yang sangat melenakan hingga melayang. Sementara aku sebagai seorang mantan pecinta yang pernah mabuk kepayang pada seseorang dan tak lekang menganggap cinta adalah sesuatu yang tak terjangkau dan kadang tak masuk akal, seperti menghadirkan kegilaan sesaat!. Begitulah kau dan aku. Senja terlewati detik demi detik. Kata-katapun berhamburan satu satu.

Sekilas orang-orang yang duduk dan berada di sekitar, memperhatikan seolah kita layaknya sepasang kekasih. Dan saking bersemangatnya akan cinta, kau sering membuat jengah aku dengan menyebut kata sayang sepanjang senja itu. Sambil sesekali menyentuh lengan, menyingkirkan helaian rambut di pipi, menggenggam bahkan mengecup tanganku, sepertinya kau tidak peduli bagaimana sebenarnya aku harus menahan gejolak saat merasakan semua sentuhan itu.

Hatiku terasa riang dan wajahpun berseri, membayangkan seandainya aku tidak hanya sesaat denganmu, kau dan aku yang akan selalu menghabiskan senja. Tetapi .. apa boleh buat, di saat semua rasa begitu membuncah, kitapun harus berpisah dan itu berarti pertemuan senja kita harus segera berakhir. Hmmm ! Pada akhirnya kuanggap kau mahluk melankolis dan sok romantis yang berbahaya untuk diajak bercengkrama. Aku sempat berpikir tak ingin punya kekasih sepertimu, sebab mengenalmu seolah melihat jendela rumah seorang penyair yang sebenarnya.

Aku adalah perempuan realis. Bahkan semua imajinasiku menjurus kalkulatif dalam tatanan hitungan matematis. Semuanya tersusun rapi secara sistimatis. Segala sesuatunya harus kuperhitungkan dan aku semestinya tidak lupa bagaimana caranya agar imajinasiku kembali liar menari bebas tanpa beban. Ups ... sebenarnya siapa diantara kita yang melankolis? yang realis? Kau ataukah aku?.

Ah, apakah masih ada kemungkinan di senja lain kau akan mengajak aku tuk cengkeramai hari seperti ini? Sekian tahun bersamamu yang telah dilewati adalah saat dimana aku ingin berubah menjadi lebih baik daripada yang sudah-sudah. Memperbaiki diri tapi tetap menjadi diri sendiri dan tidak menjadi seperti apa yang kau mau atau sebaliknya. Bagiku hidup adalah sebuah anugerah yang terindah. Dan takdir merupakan pilihan yang kutemui dalam jelang waktu yang bergerak … begitulah kita.

Sebagaimana rotasi bumi yang menyebabkan perubahan alam yang senantiasa menghadirkan panorama senja di belahan dunia manapun. Sampailah gelap berlayar dan malam mulai digelar, lalu kita berpisah dengan salam dan lambaian tangan, sementara itu siapa yang tahu maut diam-diam tengah mengintai seolah mengisyaratkan bahwa senja tak sepenuhnya lagi milik kita yang abadi, tidak juga puisi. Meski panorama senja bisa memasuki bingkai jiwa penyair mana saja yang tergugah akannya ... Adakah yang abadi di muka bumi?. Kenangan yang sempat tergoreskan siapa tahu kelak hanya tinggal sejarah usang di sudut ruang dan waktu yang mungkin akan terlupakan olehmu.

Aku hanyalah kawanmu, itupun bila kau masih mau mengakuinya kelak. Selalu dan selalu ingin menjadi kawanmu. Tak peduli kau sedang dengan perempuan lain ataupun sebaliknya karena perkawanan tak pernah menyaratkan apa-apa. Walau satu saat kemarahan serta kebencian hadir dan tidak mungkin beranjak pergi dari ruang hatimu yang telah membeku dalam kurun waktu tak terukur. Kau akan tetap menjadi kawanku, seseorang yang mungkin akan mengajak lagi berjemur dan berbincang dalam hamparan matahari senja, meski kadang aku enggan mengangankan seseorang dalam kenangan yang telah usai.