Senja itu, saat jam kerja di atas pukul tiga, kutemui sosokmu yang berdiri tegap seakan menantiku tuk menepati janji di depan counter salah satu maskapai penerbangan domestik. Hai ... ! sapaku seraya tersenyum begitu kau melihat ke arahku seolah-olah telah hafal dengan irama detak sepatuku atau hanya nalurinya saja yang mengabarkan kehadiranku. "Yuuk kita cari tempat ngobrol yang enak," ujarmu, lantas tanpa menunggu lagi, kitapun perlahan meninggalkan tempat dan mencari sudut yang tenang untuk cengkeramai senja. Di sudut sebuah cafe yang tidak seberapa ramai, aku duduk dihadapanmu dan memesan orange juice lalu menanyakan oleh-oleh yang sempat kau ucapankan di dalam percakapan telepon kita beberapa saat yang lalu, sekedar menutupi rasa jengahku atas pertemuan itu.
Lantas percakapanpun mengalir, kita bercerita tentang apa saja yang terlintas di benak sambil sesekali melempar senyum dan kerlingan. Begitulah, aku tak pernah menghitung percakapan kita yang keberapa dalam sekian lama waktu bergulir. Pada mulanya aku tak mengerti mengapa kamu mau bertemu denganku dan betah menunggu hingga aku datang. Apakah aku memang pantas untuk ditunggu?. Benarkah karena rasa sayang seperti yang selalu kau ucapkan? Ataukah hanya sekedar menyenangkan aku yang sudah meninggalkan rutinitas tuk hadir senja itu di hadapanmu?
Kunikmati setiap percakapan kita dengan latar pendar cahaya senja sebab aku tak pernah merasakan hal demikian sebelumnya. Bukankah sesuatu yang aneh jika aku duduk sendirian di tempat ini hanya untuk mengagumi panorama senja, seolah tak ada hal lain yang perlu kulakukan. Sebab aku berpikir betapa tidak lazimnya kaum lelaki jika meromantisasi senja sedemikian rupa dengan dramatisasi yang berlebihan. Barangkali kau bukan termasuk tipe lelaki yang demikian dan rasanya tidak butuh kawan untuk menghayati senja, tidak hanya seorang diri semata.
Cinta ... mungkin bagimu adalah sesuatu yang sangat melenakan hingga melayang. Sementara aku sebagai seorang mantan pecinta yang pernah mabuk kepayang pada seseorang dan tak lekang menganggap cinta adalah sesuatu yang tak terjangkau dan kadang tak masuk akal, seperti menghadirkan kegilaan sesaat!. Begitulah kau dan aku. Senja terlewati detik demi detik. Kata-katapun berhamburan satu satu.
Sekilas orang-orang yang duduk dan berada di sekitar, memperhatikan seolah kita layaknya sepasang kekasih. Dan saking bersemangatnya akan cinta, kau sering membuat jengah aku dengan menyebut kata sayang sepanjang senja itu. Sambil sesekali menyentuh lengan, menyingkirkan helaian rambut di pipi, menggenggam bahkan mengecup tanganku, sepertinya kau tidak peduli bagaimana sebenarnya aku harus menahan gejolak saat merasakan semua sentuhan itu.
Hatiku terasa riang dan wajahpun berseri, membayangkan seandainya aku tidak hanya sesaat denganmu, kau dan aku yang akan selalu menghabiskan senja. Tetapi .. apa boleh buat, di saat semua rasa begitu membuncah, kitapun harus berpisah dan itu berarti pertemuan senja kita harus segera berakhir. Hmmm ! Pada akhirnya kuanggap kau mahluk melankolis dan sok romantis yang berbahaya untuk diajak bercengkrama. Aku sempat berpikir tak ingin punya kekasih sepertimu, sebab mengenalmu seolah melihat jendela rumah seorang penyair yang sebenarnya.
Aku adalah perempuan realis. Bahkan semua imajinasiku menjurus kalkulatif dalam tatanan hitungan matematis. Semuanya tersusun rapi secara sistimatis. Segala sesuatunya harus kuperhitungkan dan aku semestinya tidak lupa bagaimana caranya agar imajinasiku kembali liar menari bebas tanpa beban. Ups ... sebenarnya siapa diantara kita yang melankolis? yang realis? Kau ataukah aku?.
Ah, apakah masih ada kemungkinan di senja lain kau akan mengajak aku tuk cengkeramai hari seperti ini? Sekian tahun bersamamu yang telah dilewati adalah saat dimana aku ingin berubah menjadi lebih baik daripada yang sudah-sudah. Memperbaiki diri tapi tetap menjadi diri sendiri dan tidak menjadi seperti apa yang kau mau atau sebaliknya. Bagiku hidup adalah sebuah anugerah yang terindah. Dan takdir merupakan pilihan yang kutemui dalam jelang waktu yang bergerak … begitulah kita.
Sebagaimana rotasi bumi yang menyebabkan perubahan alam yang senantiasa menghadirkan panorama senja di belahan dunia manapun. Sampailah gelap berlayar dan malam mulai digelar, lalu kita berpisah dengan salam dan lambaian tangan, sementara itu siapa yang tahu maut diam-diam tengah mengintai seolah mengisyaratkan bahwa senja tak sepenuhnya lagi milik kita yang abadi, tidak juga puisi. Meski panorama senja bisa memasuki bingkai jiwa penyair mana saja yang tergugah akannya ... Adakah yang abadi di muka bumi?. Kenangan yang sempat tergoreskan siapa tahu kelak hanya tinggal sejarah usang di sudut ruang dan waktu yang mungkin akan terlupakan olehmu.
Aku hanyalah kawanmu, itupun bila kau masih mau mengakuinya kelak. Selalu dan selalu ingin menjadi kawanmu. Tak peduli kau sedang dengan perempuan lain ataupun sebaliknya karena perkawanan tak pernah menyaratkan apa-apa. Walau satu saat kemarahan serta kebencian hadir dan tidak mungkin beranjak pergi dari ruang hatimu yang telah membeku dalam kurun waktu tak terukur. Kau akan tetap menjadi kawanku, seseorang yang mungkin akan mengajak lagi berjemur dan berbincang dalam hamparan matahari senja, meski kadang aku enggan mengangankan seseorang dalam kenangan yang telah usai.