Tuesday, June 7, 2011

Sepenggal Cerita

"Rasanya begitu berat untuk berpisah denganmu. Sebenarnya aku tak sanggup." ucap perempuan itu pelan sambil menatap lembut lelaki yang duduk di sampingnya. "Aku ingin selalu bersamamu setiap saat karena berada di sampingmu telah membuatku amat bahagia" lanjutnya lagi, kali ini dengan tekanan.

Lelaki itu menggenggam erat jemari tangan dan mengecup keningnya dengan lembut. Mungkin untuk megusir keresahan dan ketakutan yang ia tangkap dalam sinar mata dan intonasi perempuan itu. "Pun demikian denganku, aku tak ingin melepaskanmu pergi," ucap lelaki itu dengan intonasi dan tekanan yang nyaris sama dengan perempuannya.

Sejenak perempuan itu memejamkan mata, merasakan sentuhan lembut dari tangan dan bibir lelaki yang mendarat lagi di keningnya. Ia mengangkat wajahnya, menatap lekat-lekat wajah lelaki itu, lelakinya. Saat itu pandangan mereka bertemu. Mereka sama-sama terdiam dan terhanyut dalam tatapan. Jemari tangan saling menggenggam, seolah saling menguatkan dan menenangkan. Tak ada satu pun kata yang terucap dari bibir mereka, namun sepertinya mata mereka yang berbicara banyak. Ada percakapan dalam kebungkaman yang membuat keduanya mengerti dengan apa yang mereka rasakan.

Lantas perempuan itu memeluk lelakinya begitu erat, seolah tak ingin melepaskannya. "Aku sangat mencintaimu, sekali lagi aku ulangi aku amat sangat mencintaimu" katanya di sela isak yang tertahan. "Aku takut kau akan tinggalkanku. Sangat takut" lanjutnya lagi terbata-bata. Kini isaknya tak lagi samar, sudah jelas terdengar meski pelan. “Apalagi setelah kau bilang temanmu semalam mengatakan bahwa cinta yang kupunya hanyalah sebesar kerikil sementara cinta yang kau miliki sebesar rumah, aku takut kau akan berubah pikiran lalu meninggalkanku” nadanya begitu sedih. "Aku yakin di luar sana banyak yang menawarkan hatinya untukmu, aku takut kau akan berpaling. Aku tahu mereka lebih indah dan cantik dariku," suaranya begitu cemas dengan nada yang lebih mirip sebuah gumaman.

"Hei, kumohon cukupkan" lelaki itu mengingatkan. Iapun memeluk semakin erat. Ia ingin perempuannya bisa merasakan betapa ia amat sangat menyayanginya, begitu mencintainya hingga tak ingin melepasnya pergi. "Yang harus kau ketahui, aku tak pernah peduli betapapun indah dan cantiknya yang lain itu. Buatku engkaulah yang terindah."

"Namun aku selalu siap dengan hal terburuk yang mungkin saja terjadi, jika itu benar-benar mesti terjadi. Aku rela jika memang kebahagiaanmu ada bersama dengan yang lain. Tanpa kau perlu mengatakan bahwa cepat atau lambat aku yang akan pergi meninggalkanmu karena menemukan yang lebih ku cintai dan kau hanyalah batu loncatan bagiku" ucap perempuan itu begitu lirih sambil meneteskan air mata

"Kumohon kekasih," lelaki itu menyela lagi. "Aku tak ingin mendengarmu mengatakan hal seperti itu lagi. Apa kau tidak merasakan besarnya cintaku?" "Aku tak mungkin meninggalkanmu " ucapnya sambil mengusap air mata perempuannya

“Mengapa kau terlihat begitu yakin atas ucapan temanmu semalam ?” kali ini perempuan itu yang menyela. “Jika kau begitu yakin bahwa aku akan meninggalkanmu, untuk apa kita jalani hari bersama. Atau kau merasa aku tak pantas untukmu. Kau begitu baik untukku. terlalu baik malah. Aku hanyalah ........."

"Hanya seorang perempuan dengan masa lalu yang kelam ?" lelaki itu memotong lagi "Lalu ada masalah apa dengan itu semua ? Heuh ?" wajahnya menegang dan nadanya sedikit tinggi. "Aku tak pernah pedulikan itu."
"Aku mencintaimu," potong lelaki itu yakin. "Awalnya mungkin memang hynya sebuah simpati, Tapi apakah kau kira rasa itu tak mampu berkembang ? Aku yakin tak salah dalam menilai perasaanku padamu. Kesederhanaan, ketulusan dan kejujuranmu. Itu semua sudah cukup untuk membuat rasa itu terus berkembang hingga aku tahu bahwa aku mencintaimu" lanjut lelaki itu. "Aku mencintai apapun dirimu. Aku mencintaimu apa adanya. Aku tak peduli dengan semua kekelaman yang ada dalam masa lalumu, bila memang kau anggap masa lalumu begitu kelam. Itu semua tak akan merubah perasaanku kepadamu.”

Rona wajah perempuan itu seketika berubah meski dengan air mata yang membasahi pipinya. "Kau sungguh-sungguh dengan apa yang kau katakan barusan?" tanyanya.

Lelaki itu mengangguk pelan dengan sebuah senyum di wajahnya. "Yakinlah," katanya. “Tetapi berikanlah aku juga keyakinan bahwa cintamupun akan mampu berkembang dan kita menjalani dengan sebuah keyakinan bahwa setiap niat baik akan mendapatkan restu dan perlindunganNya sebab kita tidak hanya antara aku dan kau tetapi Dia yang selalu ada diantara kita” sambil menatap hangat perempuannya.

"Ah, terimakasih." ucap perempuan itu sedikit lirih sambil menyeka air mata yang masih tersisa. "Aku tak sanggup membayangkan bila hal itu benar-benar terjadi."

Lelaki itu melihat jam yang bergantung diatas langit-langit stasiun, jam tiga kurang lima belas menit. Ini berarti lima belas menit lagi kereta api itu akan melaju, membawa para penumpangnya ke kota tujuan. Membawa perempuannya pulang ke kotanya. Membawa perempuan itu jauh darinya dan meninggalkannya dengan kesendirian, sesuatu yang sudah sejak lama ia akrabi. "Aku turun sekarang ?"

"Sekarang ?" perempuan itu bertanya. Nadanya tidak rela, persis sama dengan tatapannya.

"Ya," jawab lelaki itu pelan sambil mengangguk. "Aku harus jalan sekarang agar tidak kemalaman sampai di kotaku."

"Kapan kita akan bertemu lagi?"

"Bukankah setiap hari kita akan bertemu dalam mimpi-mimpi malam. Kau akan selalu menjadi tokoh utama dalam setiap cerita mimpiku dan menjadikanmu bunga tidurku yang paling indah" goda lelakinya sambil menahan senyum

"Bukan itu yang kumaksud. tapi secara nyata.", sahut perempuan itu sambil tersenyum malu

"Pertengahan bulan depan kita akan bertemu di kotamu," lanjut lelakinya

Perempuan itu mengangguk pelan dengan senyum di bibirnya. "Aku selalu menunggu kedatanganmu."

Lalu perempuan itu menicum tangan lelakinya dan lelaki itu mengecup lagi pipi dan kening perempuannya dengan lembut. Sebuah kecup perpisahan dan lambaian tangan. Setelah itu ia pun bergegas pergi meninggalkan gerbong tersebut. Masih ada beberapa mata yang menatapnya dengan tatapan heran.

Dan perempuan itu membiarkan lelakinya melangkah pergi, meninggalkannya duduk sendirian walaupun ia masih belum rela dengan perpisahan itu. Takut, tiba-tiba saja rasa itu kembali hadir, ingin ia memanggil
lelakinya itu, namun terlambat. Punggung lelakinya sudah tidak tampak, begitu cepat dia melangkah. Lantas ia melihat dari jendela, mengedarkan pandangan keluar, berharap melihat lelakinya ada di bawah untuk melepas kepergiannya sambil melambaikan tangan, namun lelakinya itu tak ada di sana seperti yang diharapkan. Tanpa disadarinya, ada aliran hangat yang menggenang lagi di sudut matanya.

Mengapa begitu cepat waktu berlalu? Mengapa begitu singkat pertemuan ini ? Mengapa kebersamaan ini mesti berumur pendek ? Bathin perempuan itu masih belum rela. hanya sebentar mereka bertemu dan menikmati kebersamaan. Namun itu sangatlah indah. Begitu indah. Mungkin yang terindah baginya.

Waktu menunjukkan pukul 15.00 kereta mulai bergerak pelan, membawa kenangan, asa dan harapan serta keyakinannya. Perempuan itu membuka lagi ponselnya, ia masih menulis pesan "Mengapa kau langsung pergi? Sebenarnya aku berharap masih bisa melihatmu tadi saat kereta melaju"

Ponselnya bergetar, ada pesan masuk. Segera ia membukanya "Maafkan aku tak menemanimu hingga kereta berlalu. Aku tak ingin kau melihatku bersedih, aku langsung meninggalkan stasiun dan melanjutkan perjalanan karena aku ingin berbagi kesedihanku dengan semua yang kulalui. Sedih karena harus berpisah denganmu, kekasihku." Begitu isi pesannya. Pesan yang menyebabkan matanya langsung terbuka lebar. Pesan yang membuatnya kembali menitikkan air mata. Pesan yang semakin membuatnya yakin akan cinta lelakinya itu. Pesan yang menguatkannya untuk menjalani semua yang telah digariskan oleh Sang Pemilik Segala.