Thursday, August 25, 2011

sekeping kenangan

Rambut bulan, malam itu indah tergerai, cahaya remang menyelinap masuk celah-celah rumah. Jalusi rumahmu tentunya juga tertembus. Atau bisa saja masuk ke jendelamu yang lupa kau tutup dengan gorden rapat-rapat. Aku memasuki rumahmu berbarengan dengan keremangannya, pula kesenyapan yang memahami perasaan perempuan. Aku sendiri tak tahu persis, malam itu aku merasakan hal yang sama denganmu.

Kesedihan dan rasa ngilu, ketika cinta dikoyak-moyak. Aku lihat pasfoto yang biasa kau banggakan telah jatuh, pecah tergeletak di ruang tengah rumah. Pasfoto yang kau ceritakan dengan semangat dan berapi-api pada keluargamu dan sahabatmu. Foto pernikahanmu yang kau dokumentasikan juga lewat video. Pernikahanmu dengan seorang lelaki yang tak kukenal. Aku selalu terpaku bisu memandangi semua itu. Kau, betapa cantiknya mengenakan gaun putih yang aku tahu itu, kau pesan jauh hari sebelum pesta dilangsungkan. Dan dulu aku sempat membayangkan akulah akan bersanding di pelaminan bersamamu. Aku memakai jas yang hitam nan elegan yang sengaja--lagi-lagi kau pesankan, kau pilihkan.

Lalu. Kau berbulan madu di segala penjuru negeri yang indah, memetik candu kebahagian. Ah, aku tak bisa membayangkan itu. Karena aku ternyata tak sampai bisa bersamamu.

Sudahlah, aku malam ini adalah tamu untukmu. Mengendarai kesunyian rumah tangga. Ketika orang-orang sedang terlelap, aku menjengukmu. Tapi. Kau tak kutemukan sedang tidur terlelap malam ini. Bebarengan dengan suamimu itu. Kau malah sedang menangis di meja riasmu. Make up-mu luntur, berlumuran air mata. Aih, kenapa denganmu. Ada apa? Bolehkan waktu sedikit saja kutumpahkan kembali ke masa lalu. Agar kutahu apa yang membuatmu sedih begitu tersedu? Pilu.

***

Perempuan itu masih memegang tas kerja suaminya, sebelum pergi kerja. Kecup manis di bibirnya lebih dari kopi nikmat yang disuguhkannya. Mereka baru saja menikah, sebulan lalu. Begitu manis setiap detiknya yang bergeser. Penuh kebersamaan. Makan pagi-siang-malam penuh pujian. Tidur malam tak lagi ada kesendirian. Cari uang begitu penuh semangat. Dan rumah, seakan berubah menjadi tempat bagai surga. Serasa waktu selalu berputar tetap di tempat yang sama. Tentang kebahagian dan cinta.

"Cepat pulang, Sayang!" ucap perempuan dengan wajahnya yang manis.

"Aku langsung pulang begitu jam kerja selesai."

Dilepasnya suami di mulut pintu. Lambaian tangan dan sejumput doa selalu terlintas begitu saja. Di lemparnya seketika. Bahkan punggungnya yang selalu didakinya itu tak pernah dibiarkan hilang dari tatapan. Ia pandang lekat-lekat punggung yang mulai menjauh itu. Yang kemudian hilang ditelan jarak atau menelikung di kelokan jalan.

Iapun masuk dan menutup pintu rapat-rapat. Dengan berharap suaminya akan mengetahuinya, bahwa ia begitu teramat mencintainya.

"Jaga rumah dan jangan ke mana-mana?" Pesan suaminya itu, bila ia hendak keluar rumah. Selalu mengiang di telinganya.

Perempuan ini memang seorang istri yang baik. Begitu suaminya keluar rumah untuk kerja ia tak pernah menyia-nyiakannya. Dia isi dengan segala rutinitas sebagai seorang istri pada umumnya. Membereskan rumah, mulai dari membersihkan perabotan dapur dengan mencucinya. Membersikan sofa dan lemari, ruang kerja. Mengepel lantai rumah. Dan merapihkan kamarnya. Mencuci pakaian. Menyiapkan masakan yang nanti akan disuguhkannya begitu suaminya itu pulang. Kadang ia mencoba menu masakan yang lain yang ia temukan resepnya di sebuah majalah. Semua itu hanya untuk membahagiakan suaminya.


Bila segala pekerjaan sudah selesai. Dan tak ada lagi yang musti diselesaikan. Mulai dari ruang depan sampai halaman belakang dibereskan, dia terkadang menikmati album kenangan. Sebuah album yang begitu membuatnya sejuk. Ia pandang album itu seperti menemukan potongan masa lalu. Ia bolak-balik tanpa bosan. berulang-ulang. Hingga tak terasa waktu pun begitu saja berlalu di sampingnya.

***
Suaminya adalah lelaki yang tampan, menyukai kesederhanaan. Ia pekerja kantoran yang santai. Ia bekerja di sebuah penerbitan buku bacaan. Kadang tulisan-tulisannya dimuat di beberapa koran. Bertemu dengannya karena ulah kedua orang tua mereka. Karena bapaknya adalah sahabat karib semasa mudanya. Kebetulan juga mereka berasal dari kampung halaman yang sama, sebuah perdesaan yang dekat kekerabatannya, kuat darah pesaudaraan adat-istiadatnya.

"Jangan tangisi orang yang sudah meninggalkanmu!" Bapak menasihati. Perempuan yang saat itu baru ditinggal pergi kekasih yang telah lama bersamanya. Kekasihnya yang sempat berjanji melamarnya bahkan semua orang sekampungnya menganggap mereka akan menjadi pasangan abadi.

Orang tuanya sibuk dibuatnya. Karena pekerjaan anaknya hanya mengucurkan air mata sambil memandangi sebuah album yang selalu dibawa dan jaga ke mana-mana. Sebuah album yang bisa ia pandangi berjam-jam, berhari-hari. Hingga lupa makan. Dan seakan melupakan segelanya, termasuk hidupna. Akhirnya tak ada jalan keluarnya selain harus segera menggantikan orang yang dicintainya dengan yang lain. Agar bisa cepat melupakan lelaki yang ada pada album itu, kedua orang tuanya berniat menikahkan anaknya.

Hingga akhirnya dalam keterpurukan, kesedihan atas kepergiannya, Suaminya datang mengulurkan tangan dan harapan. Dia sekuat apa pun, pada saat itu merasa hancur akibat perpisahan yang begitu sangat memilukan. Hati nyapun mencair juga, ketika melihat kesungguhan dengan keterbukaannya dan perasaan menerima apa pun adanya. Akhirnya luluh, dan memutuskan menikah. Cinta dicoba, dipupuk dengan penuh cita.


***

Bila perempuan itu bosan menunggui suaminya yang masih sibuk mengedit naskah di kantor, ia menelpon ibunya.

"Bu, bagaimana kabarnya? Bapak juga baik-baik saja!" Dia di seberang telpon rumah, bertanya kabar melepas kangen.

"Alhamdulillah. Kau sendiri dengan suamimu bagaimana kabarnya?" Ibu menjawab dengan suaranya yang khas. Begitu membuatnya semakin kangen saja.

"Kami di sini baik semua berkat doa Ibu-Bapak. Bu, apakah pernah ada surat untukku yang diposkan ke rumah?" Dia akhirnya bertanya perkara yang selalu sama. Setiap kali menelpon rumah orang tuanya, selalu pertanyaan yang sama diajukannya. Dan ketika ibunya kembali bertanya "dari siapa?" Dia akan memberikan jawaban yang mengaburkan, kadang ia sekenanya saja. "Ya misalnya dari sahabatku atau dari beberapa panitia lomba yang sedang aku ikuti". Dan ketika ibunya menjawab tak pernah ada surat ditujukan padanya, Dia selalu kehilangan gairah bercakap-cakap lagi. Terasa sekali ia tak sesemangat perbincangannya yang pertama.

"Bu, kalau begitu saya sudahi dulu, lain waktu saya akan menelpon lagi. Sekarang mau ke dapur dulu." Menutup perbincangan anak dan ibu.

"Iya, kalau begitu ya sudah. Kamu jaga dirimu dan suamimu. Ingat jangan sampai begitu suamimu pulang rumah masih berantakan dan masakan belum siap dihidangkan. Beri suamimu kesan rumahmu, surgamu!" Ibu dengan nada menggebu-gebu akhirnya menutup telponnya, setelah ia mengiyakan semua nasihatnya.


***

Bulan demi bulan menggenapkan almanak menjadi tahun. Dan hitungan delapan tahun pun menginjakkan usia pernikahan. Semula pada beberapa tahun pertama terasa kebahagian terbina. Segalanya penuh suka-cita. Namun, mengapa tak ada hidup tanpa ujian dan kegoyahan. Ketawakalan yang selalu rapuh. Kepasrahan yang selalu goyah. Rumah tangga kini seperti sebuah perahu yang dihuni dua orang melayari samudra, kadang harus tertumbuk karang, dihantam ombak kecil-besar, bahkan kadang badai besar. Tapi semua itu, setelah usai dan redam kadang selalu ada kebahagian. Hingga saat itu tiba, suaminya pernah memergoki dia sedang asyik tersenyum sendirian memandangi sebuah album kenangan. Sebuah album yang berisi foto-foto lelaki yang dulu kekasihnya. Lelaki yang meninggalkannya ketika masih mahasiswa. Dalam album itu tampak sesosok lelaki yang sedang berduaan dengan istrinya itu.

"Kau masih tidak bisa melupakannya. Kau anggap aku ini apa?" suaminya begitu marah. Sorot matanya yang merah menandakan bahwa ia benar-benar merasa telah diinjak-injak harga dirinya.

"Apa artinya pernikahan kita ini bila di pikiranmu masih ada lelaki lain, selain suamimu ini?" sambil menghamburkan segala kekesalannya. Istrinya hanya bisa diam membisu seribu bahasa.

Perempuannya merasa begitu bersalah. Ia kehabisan ulah. Dan entah apa lagi yang harus ia perbuat.

Semenjak pertengkaran itu, suaminya jadi jarang pulang. Makan di luar, kalau pun pulang sekadar mengganti pakaian dan pergi keluar lagi. Entah apa sebabnya hingga ia begitu murkanya. Tapi ia bukan tidak merasa bersalah, dan tidak meminta maaf. Beribu kali ia meminta maaf pada suaminya. Tapi kini semua berbalik, Suaminya selalu diam, tidak membuka mulutnya. Seakan-akan kesalahannya tak bisa dimaafkan. Padahal bila suaminya meminta sesuatu padanya untuk bisa memaafkannya, dia akan berusaha mengabulkannya.

Hingga pada malam jahanam itu harus datang juga. Mereka terlibat perselisihan hebat. Kata-kata yang tidak pantas keluar dari mulut mereka berdua. Kata-kata yang sering dipakai dalam pertengkaran seorang lelaki-perempuan dilanda kebencian. Kehilangan kepercayaan. Ketakcocokan. Saling menyalahkan satu sama lainnya. Suaminya telah menjalin hubungan dengan perempuan lain. Sementara dia semakin menjadi-jadi dengan kebiasaannya memandangi lelaki pada album foto. Dan tidak dimungkiri lagi, dia selalu bilang ia masih mengingat kekasihnya yang dulu, yang telah lama meninggalkannya. Tapi dia tidak percaya sepenuhnya. Ia meyakini kekasihnya masih menunggunya di luaran sana. Dia masih berharap kabar setidaknya secarik surat yang menjelaskan padanya, ketakbisaannya pulang menemuinya.


***

Rambut bulan, malam itu begitu indah tergerai, cahaya remang menyelinap masuk ke celah-celah rumah. Jalusi rumahmu tentunya juga tertembus. Atau bisa saja masuk ke jendelamu yang lupa kau tutup dengan gorden rapat-rapat. Aku memasuki rumahmu bebarengan dengan keremanganya, pula kesenyapan yang memahami perasaan perempuan. Aku sendiri tak tahu persis, malam itu aku merasakan hal yang sama denganmu. Kesedihan dan rasa ngilu, ketika cinta dikoyak-moyak. Aku lihat pasfoto yang biasa kau banggakan telah jatuh, pecah tergeletak di ruang tengah rumah. Pasfoto yang kau ceritakan dengan semangat dan berapi-api pada keluargamu dan sahabatmu. Foto pernikahanmu yang kau dokumentasikan juga lewat video. Pernikahanmu dengan seorang lelaki yang tak kukenal. Aku selalu terpaku bisu memandangi semua itu, Kau, betapa cantiknya mengenakan gaun putih yang aku tahu itu, kau pesan jauh hari sebelum pesta dilangsungkan. Dan dulu aku sempat membayangkan akulah akan bersanding di pelaminan bersamamu. Aku memakai jas yang hitam nan elegan yang sengaja lagi-lagi kau pesankan kau pilihkan.

Ada sisa pertengkaran hebat yang kau siratkan dari tangisanmu.

Tangisanmu seperti jerit luka yang sangat perih. Apakah ada yang melukaimu? Aku selalu ingin membahagiakanmu, dan tak ingin menyaksikanmu begitu terluka. Sedang aku, begitu tak berdaya.

"Kau kenapa masih terduduk menangis memandangi album kenangan itu? Album foto-foto kita berdua semasa remaja. Ketika dunia yang kita tumpangi sama?" Ketika kubertanya tentu saja kau tak mampu menangkap suara dari dunia yang berbeda.


***

"Aku masih mengharapkan kau menepati janjimu, melamarku." istrinya mendekap album kenangan yang masih ia bawa-bawa dan ia jaga. Air mata tak pernah bisa memuaskan hatinya.

"Kau tahu, suamiku yang selalu kuharapkan akan bisa menggantikanmu. Tadi pagi kusaksikan sedang berduaan dengan perempuan yang tak kukenal. Mereka berdua masuk ke sebuah penginapan. Setelah kubuntuti, dan kucari informasi, mereka memesan satu kamar. Dan betapa tak mengerti aku harus memahami."

Dia seperti sedang bercerita kepada seseorang. Mungkin ia hanya bisa menumpahkan kesedihannya pada album kenangannya. Berharap sesosok lelaki yang terpampang di lembaran album itu mendengarkan kisahnya dan memeluknya menenangkan.