Tuesday, December 13, 2011

satu Keyakinan

Kau : sy hanya nggak percaya aja de Alin melakukan itu semua .. untuk saya
Kau : makasih yaa..
Kau : sy jadi tahu bagaimana de bersikap sama saya..
Aku : Mmg sy ga ngelakuin kok
Aku : Makasih dah menganggap sy yg lakukan
Aku : Makasih juga tuk ketidakpercayaannya
Kau : ckckckck
Aku : Terserah mas aja dech
Aku : Sy jdi tahu juga bgmn sikap mas ke saya
Aku : Makasih ya ...
Aku : Tapi sy mmg ga ngelakuin apa2 ..
Aku : Saya aja dah 2 kali ganti password FB krn diberantakin dalamnya
Kau : dah ya .. gak perlu bahas FB lagi ..
Kau : sy dah ikhlas kan..
Aku : Tp sy ga terima kalo saya dituduh2
Kau : hanya bikin sakit hati saja
Aku : Bukan sy yg lakuin kok
Aku : Ya sudahlah kalo mas percaya itu sy yg lakukan .. Makasih ..
Aku : Sepertinya saya harus ganti password lagi .. Terimakasih tuk
ketidakpercayaannya
Aku : saya akan belajar sendiri ttg IT dan tdk akan meminta tolong pd teman siapapun karena sy skrg ga percaya ma siapapun juga
Kau : Allah maha tahu .., dah lah ..
Aku : Iya .. Tuhan pasti tau

Dengan menahan sedih, perlahan disimpannya notebook ke dalam lemari. Alin tidak pernah habis pikir, mengapa Ian begitu yakin dan menuduhnya telah melakukan semua itu. Dan semua bantahan tidak ada satupun yang diterima, sepertinya hanya jawaban “Ya” yang bisa melegakan hati Ian. Lalu apa gunanya percakapan mereka lanjutkan jika pada akhirnya akan saling menyakiti? Alinpun memilih diam dan membiarkan Ian dengan pendapatnya sendiri karena untuk saat ini, itulah yang lebih baik dilakukan.
Alin masih diam merenung dan mengingat semua percakapan mereka, dari awal hingga akhirnya tersenyum sendiri dan bersyukur telah merasakan semua kenikmatan perih dan sakitnya hati. Berusaha tetap tersenyum dan menganggap ini bukan masalah besar tetapi hanyalah bagian kecil dari dinamika percintaan yang sedang dilaluinya. Walaupun rasa tidak terima begitu kuat tetapi Alin tidak memiliki daya apapun untuk merubahnya menjadi seperti yang di mau. Hanya satu keinginan besar untuk menguasai bidang yang selama ini tidak dikuasainya. Bukan untuk membalas apa yang telah dilakukan seseorang kepadanya tetapi untuk menjaga dirinya dari segala tuduhan yang tidak dilakukannya. Tuduhan Ian. Senyum Alinpun muncul kembali setelah lama murung karena kecewa.

Sudah tidak ada lagi yang perlu dijelaskan karena memang tidak semua hal perlu penjelasan. Semakin dijelaskan justru akan menimbulkan perselisihan baru yang tidak akan menyelesaikan persoalan awal. Alin hanya bisa terdiam dan berharap semua ini akan berakhir dengan baik, tidak akan ada lagi yang mengusiknya dengan mengatas namakan cinta. Jika memang benar ada cinta mengapa Ian selalu ingin melihat dirinya tidak pernah bahagia? Apakah hanya karena kehebatannya berbicara hingga bisa mengkondisikan semua terarah padanya? Sampai kapan Alin harus menerima semua keadaan ini ?

Sebenarnya hanya dua kata yang selalu menjadi pegangannya "TETAPLAH KUAT". Alin selalu ingat pada apa yang pernah dibacanya, yang melukiskan kekuatan diri saat menghadapi setiap masalah, meski dalam keadaan tertekan tapi bibir harus selalu bisa tersenyum, menertawakan semua kesedihan hingga tak perlu lagi menangis, memaafkan siapapun yang menghina dan mencelanya. Alin ingin selalu menjadi wanita cantik yang bisa mengasihi tanpa pamrih dan bertambah kuat didalam doa serta pengharapan karena untuk menjadi kuat tidak butuh alasan sebab kuat hanya perlu keyakinan.

PupuS

Ajeng tertunduk lesu, wajahnya menyiratkan duka yang teramat dalam. Aryo meninggalkannya untuk kesekian kalinya, setelah pertengkaran mereka yang tidak pernah jelas ujung pangkalnya. Ajeng harus selalu menerima semua sikap Aryo yang tdk pernah bisa menerima alasan apapun yang diutarakannya. Bukankah seharusnya mereka bisa duduk berdampingan membahas dan mendiskusikannya? Menegur dan saling memaafkan atas dasar cinta? Mereka bersatupun karena cinta, mengapa semua hal tidak bisa diselesaikan atas dasar itu?

Diusapnya air mata yang terus mengalir tanpa mampu dihentikannya, kesalahan yang dibuatnya kali ini benar-benar tak termaafkan, segala permohonan maaf dan penjelasaannya tidak ada yang bisa diterima. Aryo benar-benar tersinggung meskipun Ajeng berulang mengingatkan akan rasa sayang dan cinta mereka, tetap tidak bisa meluluhkannya. Mungkinkah sayang dan cinta yang Aryo ucapkan padanya hanya seolah-olah hingga bisa hilang dalam sekejap? Ajeng kembali terisak dalam diam.

Matanya menerawang langit senja yang indah dengan semburat jingga, betapa senangnya senja yang boleh memilih warna terindah yang pastinya tertuliskan cintaNya. Ajeng terpekur menunduk dan tidak habis pikir dengan semua kejadian hari ini. Apakah Aryo tidak pernah bisa merasakan betapa besar sayang dan cintanya meski dalam diam. Bukankah perasaan itu seharusnya tidak hanya diucapkan tetapi ditunjukkan dengan sikap dan pemberian seperti yang telah dilakukannya hari ini. Bahkan Aryo pernah memberikan bingkisan yang sama tapi Ajeng tak pernah membuatnya jadi sebuah masalah seperti hari ini.

Mata Ajeng semakin sembab, tangisnya tak berhenti menyesali semua yang dilakukannya hari ini. Semula ingin menunjukkan rasa sayang dan cinta tetapi jika tahu akhirnya akan begini, tentu tidak akan dilakukannya. Isak tangis Ajeng semakin dalam, pedih di dalam hati semakin menyesakkan dada. Ucapan Aryo terus terngiang, ingin mengakhiri semuanya. Mengapa semudah itu Aryo meninggalkannya? Apakah kesalahannya begitu tak termaafkan?

Lalu apa yang sekarang harus dilakukannya? Mengakhiri hidupnya? Jadi untuk apa lagi dia menjalani sendiri hari-hari yang seharusnya bisa dilalui bersama? Ajeng berdiri terpaku menatap kosong ke langit senja yang mulai merengkuh malam, tak dipedulikannya lagi air mata yang membasahi pipi dan rambut yang mulai kusut tersapu angin. Matanya nanar memandang gelombang air laut yang menyentuh tepian karang. Ajeng ingin ikut gelombang laut yang datang dan pergi membawa rindu pantai yang tak pernah hilang. Sebuah bentuk kesetiaan gelombang pada pantai.

Pandangannya semakin kabur tertutup air mata yang mengarai, isaknyapun semakin keras, tubuhnya gemetar menahan kesedihan yang amat sangat. Aryo sudah meninggalkannya dan dia memang pantas tuk ditinggalkan karena kesalahan itu tak termaafkan. Untuk apa lagi dia menunggu di sini, Aryo tidak akan pernah datang menjemputnya, mungkin saat ini Aryo sedang bercengkrama dengan istri dan anak-anaknya. Ajeng memang bukan satu-satunya perempuan terkasih di hati Aryo, dia tidak akan pernah mendapatkan tempat sedikitpun di relung hatinya.

Ajeng bersimpuh, kakinya tak kuat lagi menahan berat tubuhnya. Kesedihan itu semakin dalam dan merasuki seluruh jiwanya. Tubuhnyapun lunglai hingga jatuh menyentuh tanah sementara matanya menatap pekat malam yang biasanya penuh kerlip bintang. Jiwanya meronta memohon bulan tuk merengkuhnya dan melebur dalam malam kelam. Isaknya semakin lama semakin pelan dalam senyap dan akhirnya menghilang dala sepi. Tubuhnya sudah tak bergeming lagi, nafasnya semakin lambat tanpa isakan. Jiwanya telah menyatu dalam malam, menemani bulan yang selalu setia pada malam.