Monday, August 19, 2013

sisa aroma hujan


Hujan masih merintik di bibir genteng rumahku. Tempiasnya hantarkan dingin dan basah di lengan bajuku. Aku menyudut dan merapatkan tubuhku pada tembok teras yang sebagian catnya sudah mengelupas.

Hujan seperti tidak peduli dengan bunga-bunga yang kelelahan bergoyang-goyang ditimpa jatuhnya. Juga pada tanah yang tersiksa karena pori-porinya dipenuhi ruah genangan. Sekelebat kutangkap percikan sebuah rindu kepadamu.

Dulu. Hujan inilah yang pernah mengungkung kita pada peraduan terpisah. Alangkah indahnya hujan waktu itu. Gemericiknya bak tetabuhan langit yang manjakan telinga bathinku dan bathinmu yang bersenandung bersama.

Aku lukis namamu pada permukaan kaca yang berembun tertiup dingin di luar I Love You. Dan selalu hujan yang samarkan kelembutan bisikmu di telingaku tentang kebahagiaan itu.

Hujan selalu sisakan aroma pada rerumputan, pada tanah dan pada aspal saat berhenti. Seperti ingin kekalkan keberadaannya pada matahari yang segera menggantinya. Buatku itu tak perlu. Hujan sudah terasa kekal basahi kekeringan di ulu hatiku pada rasa merinduimu.

Hujan tak kunjung berhenti. Ia sengaja mainkan iramanya pada setiap benda di bawahnya untuk menggodaku. Aku menghela nafas. Semakin lama gemericik hujan justru seperti menggerus kekuatan pikiranku satu persatu. Tetesnya tak lagi suarakan harmoni yang menenangkan kebekuanku. Sebaliknya, ia berubah menjadi milyaran tombak yang bersiap menghujam sepi karenamu.

Aku berlari menerobos setiap celah hujan. Dingin dan basah justru samarkan perasaan dan tangisanku memilu. Akankah hujan ini berakhir dan bawa sirna semua rasa ? Entahlah ...

kisah tak bernama


Seluruh bumi basah. Seluruhnya.
Hujan. Kita digulung hujan. Pasir. Ombak. Senja. Pulau-pulau hilang dalam sekejap.

"Hanya kita"
"Ya"
"Semua ditelan hujan"

Aku. Kau. Berpegang tangan. Kita tengadahkan wajah sampai titik-titik hujan meninggalkan rasa nyeri yang menusuk. Kita belajar menghadapi rasa sakit.

"Kau bahagia," tanyaku.
"Kau?"
"Entahlah, mungkin hanya perasaan tak bernama."

Tawamu pecah. Kau memelukku erat.

"Jika mungkin, aku ingin terus melewati hujan bersamamu."

Jika mungkin. Jangan, kekasih. Berhentilah membangun apa pun yang sekiranya hanya akan menipu diri. Pertemuan ini tidak lebih dari perpisahan, kau tahu itu.

"apa kita tidak boleh lagi membangun apa pun yang bisa membuat bahagia."
"Mungkin tidak."
"Mungkin."
"Please ... Aku tidak ingin membahas tentang mungkin. Semua selesai setelah ini, sampai hujan reda. Kita akan pulang, melupakan apa pun yang pernah."
"Jika hujan tak pernah reda."
"Sudahlah. Jangan memaksa begitu."
"Kau berharap hujan segera reda, Kita berpisah, Jadi benar kau lebih mencintainya."
"Kau mulai lagi."
"Aku hanya ingin mendengarnya sekali saja."
"Kemarin sudah kukatakan."
"Hanya lewat telepon. Aku ingin kau mengatakannya saat mataku menatapmu."
"Kau keterlaluan."
"Jadi benar."
"Kau tega."
"Aku atau kau."
"Kau."

Diam. Hanyut. Haru. "Aku tidak ingin percaya, tapi ternyata benar kau lebih mencintainya."
"Itu kesimpulanmu, tapi bisa saja benar."
Angin menghempaskan daun-daun, jatuh dan terserak. Kau menangkapnya sejarak pandang. "Seperti itukah rasanya."
"Apa."
"Terhempas."
"Entah"

Sesuatu yang ngilu merayap. Menyentuh sepasang hati yang basah. Hujan. Lihatlah kita tergenang kesedihan yang bergelombang-gelombang. Kuyup. Kalau kau memang ingin, bawalah aku mengarungi lautmu yang meluap. Tapi kau tidak berani. Tidak ingin. Kau selalu hanya mampu mengulur mimpi. Hingga saat semua menjadi terlambat.

*****

Dalam sisa pertemuan yang merupakan perpisahan tak bernama ini , sesaat, kita meyakini bahwa hidup memang hanya serpihan mimpi saja, sedang kenyataan kita sembunyikan dari ingatan.

Lalu. Kita membuat dunia dalam hujan. Kau mengajakku bermain dengan pasir. Temani aku menciptakan cinta di laut dan pantai, pintamu. Aku memandang wajah basahmu, kujangkau matamu yang dalam. Hujan. Kau, seseorang yang tanpa nama, sekali ini kulihat benar-benar menjadi hujan yang ingin tumpah. Tumpahlah, kekasih. mari kita bermain-main dalam hujan yang romantis ini.
Kau ingin berkata. Kuyakin, berkatalah. Biar kudengar rintik hujan di dadamu. Kuhangati kau dengan kesejatian yang tak pernah terbayangkan.

"Aku ingin kau menjadi hujan bersamaku." Kau meminta.
"Jadikanlah aku hujan."
"Kita akan meresap bersama dalam butir-butir pasir."
"Tentu."
"Kebahagiaan hanya milik kita."
"Aku dan kau."
"Sungguhkah."
"Heeeemm."
"Ulurkan tanganmu."
"Untuk apa."
"Kita pergi sebelum hujan usai."
"Hahahaha. Sudah. Sudah." Aku tertawa, kemudian menangis. Kita amat keterlaluan mempermainkan perpisahan ini.

Kau ingin aku hilang pada musim lain yang datang bulan depan. Bagaimana bisa begitu, kau selalu tidak adil. Sekali waktu kau ingin terpanggang api, pada saat lain kau pinta aku larut denganmu. Menjadi satu musim, hujan. Lalu ia. Lelaki yang kuyakini lebih mencintaiku, akan selalu menantikan kedatanganku selepas musim hujan ini.
Tidak, kekasih. Bukan dendam yang ingin kubawa pada perjalanan yang sedang menungguku. Kita. Mungkin pernah, dan lupakanlah. Aku akan terus menjalani sekian musim. Tidak seperti kau yang hanya ingin menjadi hujan.

tanpa menunggu sampai pagi hujanpun hadir dalam perjalanan malam yang panjang dan melelahkan bibir terasa kering dan kehausan
tak perlu menunggu hingga fajar untuk membasahi bibir yang kering dan menghapus dahaga saat menempuh perjalanan panjang .. hujan telah turun semalam