Tuesday, December 13, 2011

satu Keyakinan

Kau : sy hanya nggak percaya aja de Alin melakukan itu semua .. untuk saya
Kau : makasih yaa..
Kau : sy jadi tahu bagaimana de bersikap sama saya..
Aku : Mmg sy ga ngelakuin kok
Aku : Makasih dah menganggap sy yg lakukan
Aku : Makasih juga tuk ketidakpercayaannya
Kau : ckckckck
Aku : Terserah mas aja dech
Aku : Sy jdi tahu juga bgmn sikap mas ke saya
Aku : Makasih ya ...
Aku : Tapi sy mmg ga ngelakuin apa2 ..
Aku : Saya aja dah 2 kali ganti password FB krn diberantakin dalamnya
Kau : dah ya .. gak perlu bahas FB lagi ..
Kau : sy dah ikhlas kan..
Aku : Tp sy ga terima kalo saya dituduh2
Kau : hanya bikin sakit hati saja
Aku : Bukan sy yg lakuin kok
Aku : Ya sudahlah kalo mas percaya itu sy yg lakukan .. Makasih ..
Aku : Sepertinya saya harus ganti password lagi .. Terimakasih tuk
ketidakpercayaannya
Aku : saya akan belajar sendiri ttg IT dan tdk akan meminta tolong pd teman siapapun karena sy skrg ga percaya ma siapapun juga
Kau : Allah maha tahu .., dah lah ..
Aku : Iya .. Tuhan pasti tau

Dengan menahan sedih, perlahan disimpannya notebook ke dalam lemari. Alin tidak pernah habis pikir, mengapa Ian begitu yakin dan menuduhnya telah melakukan semua itu. Dan semua bantahan tidak ada satupun yang diterima, sepertinya hanya jawaban “Ya” yang bisa melegakan hati Ian. Lalu apa gunanya percakapan mereka lanjutkan jika pada akhirnya akan saling menyakiti? Alinpun memilih diam dan membiarkan Ian dengan pendapatnya sendiri karena untuk saat ini, itulah yang lebih baik dilakukan.
Alin masih diam merenung dan mengingat semua percakapan mereka, dari awal hingga akhirnya tersenyum sendiri dan bersyukur telah merasakan semua kenikmatan perih dan sakitnya hati. Berusaha tetap tersenyum dan menganggap ini bukan masalah besar tetapi hanyalah bagian kecil dari dinamika percintaan yang sedang dilaluinya. Walaupun rasa tidak terima begitu kuat tetapi Alin tidak memiliki daya apapun untuk merubahnya menjadi seperti yang di mau. Hanya satu keinginan besar untuk menguasai bidang yang selama ini tidak dikuasainya. Bukan untuk membalas apa yang telah dilakukan seseorang kepadanya tetapi untuk menjaga dirinya dari segala tuduhan yang tidak dilakukannya. Tuduhan Ian. Senyum Alinpun muncul kembali setelah lama murung karena kecewa.

Sudah tidak ada lagi yang perlu dijelaskan karena memang tidak semua hal perlu penjelasan. Semakin dijelaskan justru akan menimbulkan perselisihan baru yang tidak akan menyelesaikan persoalan awal. Alin hanya bisa terdiam dan berharap semua ini akan berakhir dengan baik, tidak akan ada lagi yang mengusiknya dengan mengatas namakan cinta. Jika memang benar ada cinta mengapa Ian selalu ingin melihat dirinya tidak pernah bahagia? Apakah hanya karena kehebatannya berbicara hingga bisa mengkondisikan semua terarah padanya? Sampai kapan Alin harus menerima semua keadaan ini ?

Sebenarnya hanya dua kata yang selalu menjadi pegangannya "TETAPLAH KUAT". Alin selalu ingat pada apa yang pernah dibacanya, yang melukiskan kekuatan diri saat menghadapi setiap masalah, meski dalam keadaan tertekan tapi bibir harus selalu bisa tersenyum, menertawakan semua kesedihan hingga tak perlu lagi menangis, memaafkan siapapun yang menghina dan mencelanya. Alin ingin selalu menjadi wanita cantik yang bisa mengasihi tanpa pamrih dan bertambah kuat didalam doa serta pengharapan karena untuk menjadi kuat tidak butuh alasan sebab kuat hanya perlu keyakinan.

PupuS

Ajeng tertunduk lesu, wajahnya menyiratkan duka yang teramat dalam. Aryo meninggalkannya untuk kesekian kalinya, setelah pertengkaran mereka yang tidak pernah jelas ujung pangkalnya. Ajeng harus selalu menerima semua sikap Aryo yang tdk pernah bisa menerima alasan apapun yang diutarakannya. Bukankah seharusnya mereka bisa duduk berdampingan membahas dan mendiskusikannya? Menegur dan saling memaafkan atas dasar cinta? Mereka bersatupun karena cinta, mengapa semua hal tidak bisa diselesaikan atas dasar itu?

Diusapnya air mata yang terus mengalir tanpa mampu dihentikannya, kesalahan yang dibuatnya kali ini benar-benar tak termaafkan, segala permohonan maaf dan penjelasaannya tidak ada yang bisa diterima. Aryo benar-benar tersinggung meskipun Ajeng berulang mengingatkan akan rasa sayang dan cinta mereka, tetap tidak bisa meluluhkannya. Mungkinkah sayang dan cinta yang Aryo ucapkan padanya hanya seolah-olah hingga bisa hilang dalam sekejap? Ajeng kembali terisak dalam diam.

Matanya menerawang langit senja yang indah dengan semburat jingga, betapa senangnya senja yang boleh memilih warna terindah yang pastinya tertuliskan cintaNya. Ajeng terpekur menunduk dan tidak habis pikir dengan semua kejadian hari ini. Apakah Aryo tidak pernah bisa merasakan betapa besar sayang dan cintanya meski dalam diam. Bukankah perasaan itu seharusnya tidak hanya diucapkan tetapi ditunjukkan dengan sikap dan pemberian seperti yang telah dilakukannya hari ini. Bahkan Aryo pernah memberikan bingkisan yang sama tapi Ajeng tak pernah membuatnya jadi sebuah masalah seperti hari ini.

Mata Ajeng semakin sembab, tangisnya tak berhenti menyesali semua yang dilakukannya hari ini. Semula ingin menunjukkan rasa sayang dan cinta tetapi jika tahu akhirnya akan begini, tentu tidak akan dilakukannya. Isak tangis Ajeng semakin dalam, pedih di dalam hati semakin menyesakkan dada. Ucapan Aryo terus terngiang, ingin mengakhiri semuanya. Mengapa semudah itu Aryo meninggalkannya? Apakah kesalahannya begitu tak termaafkan?

Lalu apa yang sekarang harus dilakukannya? Mengakhiri hidupnya? Jadi untuk apa lagi dia menjalani sendiri hari-hari yang seharusnya bisa dilalui bersama? Ajeng berdiri terpaku menatap kosong ke langit senja yang mulai merengkuh malam, tak dipedulikannya lagi air mata yang membasahi pipi dan rambut yang mulai kusut tersapu angin. Matanya nanar memandang gelombang air laut yang menyentuh tepian karang. Ajeng ingin ikut gelombang laut yang datang dan pergi membawa rindu pantai yang tak pernah hilang. Sebuah bentuk kesetiaan gelombang pada pantai.

Pandangannya semakin kabur tertutup air mata yang mengarai, isaknyapun semakin keras, tubuhnya gemetar menahan kesedihan yang amat sangat. Aryo sudah meninggalkannya dan dia memang pantas tuk ditinggalkan karena kesalahan itu tak termaafkan. Untuk apa lagi dia menunggu di sini, Aryo tidak akan pernah datang menjemputnya, mungkin saat ini Aryo sedang bercengkrama dengan istri dan anak-anaknya. Ajeng memang bukan satu-satunya perempuan terkasih di hati Aryo, dia tidak akan pernah mendapatkan tempat sedikitpun di relung hatinya.

Ajeng bersimpuh, kakinya tak kuat lagi menahan berat tubuhnya. Kesedihan itu semakin dalam dan merasuki seluruh jiwanya. Tubuhnyapun lunglai hingga jatuh menyentuh tanah sementara matanya menatap pekat malam yang biasanya penuh kerlip bintang. Jiwanya meronta memohon bulan tuk merengkuhnya dan melebur dalam malam kelam. Isaknya semakin lama semakin pelan dalam senyap dan akhirnya menghilang dala sepi. Tubuhnya sudah tak bergeming lagi, nafasnya semakin lambat tanpa isakan. Jiwanya telah menyatu dalam malam, menemani bulan yang selalu setia pada malam.

Thursday, August 25, 2011

sekeping kenangan

Rambut bulan, malam itu indah tergerai, cahaya remang menyelinap masuk celah-celah rumah. Jalusi rumahmu tentunya juga tertembus. Atau bisa saja masuk ke jendelamu yang lupa kau tutup dengan gorden rapat-rapat. Aku memasuki rumahmu berbarengan dengan keremangannya, pula kesenyapan yang memahami perasaan perempuan. Aku sendiri tak tahu persis, malam itu aku merasakan hal yang sama denganmu.

Kesedihan dan rasa ngilu, ketika cinta dikoyak-moyak. Aku lihat pasfoto yang biasa kau banggakan telah jatuh, pecah tergeletak di ruang tengah rumah. Pasfoto yang kau ceritakan dengan semangat dan berapi-api pada keluargamu dan sahabatmu. Foto pernikahanmu yang kau dokumentasikan juga lewat video. Pernikahanmu dengan seorang lelaki yang tak kukenal. Aku selalu terpaku bisu memandangi semua itu. Kau, betapa cantiknya mengenakan gaun putih yang aku tahu itu, kau pesan jauh hari sebelum pesta dilangsungkan. Dan dulu aku sempat membayangkan akulah akan bersanding di pelaminan bersamamu. Aku memakai jas yang hitam nan elegan yang sengaja--lagi-lagi kau pesankan, kau pilihkan.

Lalu. Kau berbulan madu di segala penjuru negeri yang indah, memetik candu kebahagian. Ah, aku tak bisa membayangkan itu. Karena aku ternyata tak sampai bisa bersamamu.

Sudahlah, aku malam ini adalah tamu untukmu. Mengendarai kesunyian rumah tangga. Ketika orang-orang sedang terlelap, aku menjengukmu. Tapi. Kau tak kutemukan sedang tidur terlelap malam ini. Bebarengan dengan suamimu itu. Kau malah sedang menangis di meja riasmu. Make up-mu luntur, berlumuran air mata. Aih, kenapa denganmu. Ada apa? Bolehkan waktu sedikit saja kutumpahkan kembali ke masa lalu. Agar kutahu apa yang membuatmu sedih begitu tersedu? Pilu.

***

Perempuan itu masih memegang tas kerja suaminya, sebelum pergi kerja. Kecup manis di bibirnya lebih dari kopi nikmat yang disuguhkannya. Mereka baru saja menikah, sebulan lalu. Begitu manis setiap detiknya yang bergeser. Penuh kebersamaan. Makan pagi-siang-malam penuh pujian. Tidur malam tak lagi ada kesendirian. Cari uang begitu penuh semangat. Dan rumah, seakan berubah menjadi tempat bagai surga. Serasa waktu selalu berputar tetap di tempat yang sama. Tentang kebahagian dan cinta.

"Cepat pulang, Sayang!" ucap perempuan dengan wajahnya yang manis.

"Aku langsung pulang begitu jam kerja selesai."

Dilepasnya suami di mulut pintu. Lambaian tangan dan sejumput doa selalu terlintas begitu saja. Di lemparnya seketika. Bahkan punggungnya yang selalu didakinya itu tak pernah dibiarkan hilang dari tatapan. Ia pandang lekat-lekat punggung yang mulai menjauh itu. Yang kemudian hilang ditelan jarak atau menelikung di kelokan jalan.

Iapun masuk dan menutup pintu rapat-rapat. Dengan berharap suaminya akan mengetahuinya, bahwa ia begitu teramat mencintainya.

"Jaga rumah dan jangan ke mana-mana?" Pesan suaminya itu, bila ia hendak keluar rumah. Selalu mengiang di telinganya.

Perempuan ini memang seorang istri yang baik. Begitu suaminya keluar rumah untuk kerja ia tak pernah menyia-nyiakannya. Dia isi dengan segala rutinitas sebagai seorang istri pada umumnya. Membereskan rumah, mulai dari membersihkan perabotan dapur dengan mencucinya. Membersikan sofa dan lemari, ruang kerja. Mengepel lantai rumah. Dan merapihkan kamarnya. Mencuci pakaian. Menyiapkan masakan yang nanti akan disuguhkannya begitu suaminya itu pulang. Kadang ia mencoba menu masakan yang lain yang ia temukan resepnya di sebuah majalah. Semua itu hanya untuk membahagiakan suaminya.


Bila segala pekerjaan sudah selesai. Dan tak ada lagi yang musti diselesaikan. Mulai dari ruang depan sampai halaman belakang dibereskan, dia terkadang menikmati album kenangan. Sebuah album yang begitu membuatnya sejuk. Ia pandang album itu seperti menemukan potongan masa lalu. Ia bolak-balik tanpa bosan. berulang-ulang. Hingga tak terasa waktu pun begitu saja berlalu di sampingnya.

***
Suaminya adalah lelaki yang tampan, menyukai kesederhanaan. Ia pekerja kantoran yang santai. Ia bekerja di sebuah penerbitan buku bacaan. Kadang tulisan-tulisannya dimuat di beberapa koran. Bertemu dengannya karena ulah kedua orang tua mereka. Karena bapaknya adalah sahabat karib semasa mudanya. Kebetulan juga mereka berasal dari kampung halaman yang sama, sebuah perdesaan yang dekat kekerabatannya, kuat darah pesaudaraan adat-istiadatnya.

"Jangan tangisi orang yang sudah meninggalkanmu!" Bapak menasihati. Perempuan yang saat itu baru ditinggal pergi kekasih yang telah lama bersamanya. Kekasihnya yang sempat berjanji melamarnya bahkan semua orang sekampungnya menganggap mereka akan menjadi pasangan abadi.

Orang tuanya sibuk dibuatnya. Karena pekerjaan anaknya hanya mengucurkan air mata sambil memandangi sebuah album yang selalu dibawa dan jaga ke mana-mana. Sebuah album yang bisa ia pandangi berjam-jam, berhari-hari. Hingga lupa makan. Dan seakan melupakan segelanya, termasuk hidupna. Akhirnya tak ada jalan keluarnya selain harus segera menggantikan orang yang dicintainya dengan yang lain. Agar bisa cepat melupakan lelaki yang ada pada album itu, kedua orang tuanya berniat menikahkan anaknya.

Hingga akhirnya dalam keterpurukan, kesedihan atas kepergiannya, Suaminya datang mengulurkan tangan dan harapan. Dia sekuat apa pun, pada saat itu merasa hancur akibat perpisahan yang begitu sangat memilukan. Hati nyapun mencair juga, ketika melihat kesungguhan dengan keterbukaannya dan perasaan menerima apa pun adanya. Akhirnya luluh, dan memutuskan menikah. Cinta dicoba, dipupuk dengan penuh cita.


***

Bila perempuan itu bosan menunggui suaminya yang masih sibuk mengedit naskah di kantor, ia menelpon ibunya.

"Bu, bagaimana kabarnya? Bapak juga baik-baik saja!" Dia di seberang telpon rumah, bertanya kabar melepas kangen.

"Alhamdulillah. Kau sendiri dengan suamimu bagaimana kabarnya?" Ibu menjawab dengan suaranya yang khas. Begitu membuatnya semakin kangen saja.

"Kami di sini baik semua berkat doa Ibu-Bapak. Bu, apakah pernah ada surat untukku yang diposkan ke rumah?" Dia akhirnya bertanya perkara yang selalu sama. Setiap kali menelpon rumah orang tuanya, selalu pertanyaan yang sama diajukannya. Dan ketika ibunya kembali bertanya "dari siapa?" Dia akan memberikan jawaban yang mengaburkan, kadang ia sekenanya saja. "Ya misalnya dari sahabatku atau dari beberapa panitia lomba yang sedang aku ikuti". Dan ketika ibunya menjawab tak pernah ada surat ditujukan padanya, Dia selalu kehilangan gairah bercakap-cakap lagi. Terasa sekali ia tak sesemangat perbincangannya yang pertama.

"Bu, kalau begitu saya sudahi dulu, lain waktu saya akan menelpon lagi. Sekarang mau ke dapur dulu." Menutup perbincangan anak dan ibu.

"Iya, kalau begitu ya sudah. Kamu jaga dirimu dan suamimu. Ingat jangan sampai begitu suamimu pulang rumah masih berantakan dan masakan belum siap dihidangkan. Beri suamimu kesan rumahmu, surgamu!" Ibu dengan nada menggebu-gebu akhirnya menutup telponnya, setelah ia mengiyakan semua nasihatnya.


***

Bulan demi bulan menggenapkan almanak menjadi tahun. Dan hitungan delapan tahun pun menginjakkan usia pernikahan. Semula pada beberapa tahun pertama terasa kebahagian terbina. Segalanya penuh suka-cita. Namun, mengapa tak ada hidup tanpa ujian dan kegoyahan. Ketawakalan yang selalu rapuh. Kepasrahan yang selalu goyah. Rumah tangga kini seperti sebuah perahu yang dihuni dua orang melayari samudra, kadang harus tertumbuk karang, dihantam ombak kecil-besar, bahkan kadang badai besar. Tapi semua itu, setelah usai dan redam kadang selalu ada kebahagian. Hingga saat itu tiba, suaminya pernah memergoki dia sedang asyik tersenyum sendirian memandangi sebuah album kenangan. Sebuah album yang berisi foto-foto lelaki yang dulu kekasihnya. Lelaki yang meninggalkannya ketika masih mahasiswa. Dalam album itu tampak sesosok lelaki yang sedang berduaan dengan istrinya itu.

"Kau masih tidak bisa melupakannya. Kau anggap aku ini apa?" suaminya begitu marah. Sorot matanya yang merah menandakan bahwa ia benar-benar merasa telah diinjak-injak harga dirinya.

"Apa artinya pernikahan kita ini bila di pikiranmu masih ada lelaki lain, selain suamimu ini?" sambil menghamburkan segala kekesalannya. Istrinya hanya bisa diam membisu seribu bahasa.

Perempuannya merasa begitu bersalah. Ia kehabisan ulah. Dan entah apa lagi yang harus ia perbuat.

Semenjak pertengkaran itu, suaminya jadi jarang pulang. Makan di luar, kalau pun pulang sekadar mengganti pakaian dan pergi keluar lagi. Entah apa sebabnya hingga ia begitu murkanya. Tapi ia bukan tidak merasa bersalah, dan tidak meminta maaf. Beribu kali ia meminta maaf pada suaminya. Tapi kini semua berbalik, Suaminya selalu diam, tidak membuka mulutnya. Seakan-akan kesalahannya tak bisa dimaafkan. Padahal bila suaminya meminta sesuatu padanya untuk bisa memaafkannya, dia akan berusaha mengabulkannya.

Hingga pada malam jahanam itu harus datang juga. Mereka terlibat perselisihan hebat. Kata-kata yang tidak pantas keluar dari mulut mereka berdua. Kata-kata yang sering dipakai dalam pertengkaran seorang lelaki-perempuan dilanda kebencian. Kehilangan kepercayaan. Ketakcocokan. Saling menyalahkan satu sama lainnya. Suaminya telah menjalin hubungan dengan perempuan lain. Sementara dia semakin menjadi-jadi dengan kebiasaannya memandangi lelaki pada album foto. Dan tidak dimungkiri lagi, dia selalu bilang ia masih mengingat kekasihnya yang dulu, yang telah lama meninggalkannya. Tapi dia tidak percaya sepenuhnya. Ia meyakini kekasihnya masih menunggunya di luaran sana. Dia masih berharap kabar setidaknya secarik surat yang menjelaskan padanya, ketakbisaannya pulang menemuinya.


***

Rambut bulan, malam itu begitu indah tergerai, cahaya remang menyelinap masuk ke celah-celah rumah. Jalusi rumahmu tentunya juga tertembus. Atau bisa saja masuk ke jendelamu yang lupa kau tutup dengan gorden rapat-rapat. Aku memasuki rumahmu bebarengan dengan keremanganya, pula kesenyapan yang memahami perasaan perempuan. Aku sendiri tak tahu persis, malam itu aku merasakan hal yang sama denganmu. Kesedihan dan rasa ngilu, ketika cinta dikoyak-moyak. Aku lihat pasfoto yang biasa kau banggakan telah jatuh, pecah tergeletak di ruang tengah rumah. Pasfoto yang kau ceritakan dengan semangat dan berapi-api pada keluargamu dan sahabatmu. Foto pernikahanmu yang kau dokumentasikan juga lewat video. Pernikahanmu dengan seorang lelaki yang tak kukenal. Aku selalu terpaku bisu memandangi semua itu, Kau, betapa cantiknya mengenakan gaun putih yang aku tahu itu, kau pesan jauh hari sebelum pesta dilangsungkan. Dan dulu aku sempat membayangkan akulah akan bersanding di pelaminan bersamamu. Aku memakai jas yang hitam nan elegan yang sengaja lagi-lagi kau pesankan kau pilihkan.

Ada sisa pertengkaran hebat yang kau siratkan dari tangisanmu.

Tangisanmu seperti jerit luka yang sangat perih. Apakah ada yang melukaimu? Aku selalu ingin membahagiakanmu, dan tak ingin menyaksikanmu begitu terluka. Sedang aku, begitu tak berdaya.

"Kau kenapa masih terduduk menangis memandangi album kenangan itu? Album foto-foto kita berdua semasa remaja. Ketika dunia yang kita tumpangi sama?" Ketika kubertanya tentu saja kau tak mampu menangkap suara dari dunia yang berbeda.


***

"Aku masih mengharapkan kau menepati janjimu, melamarku." istrinya mendekap album kenangan yang masih ia bawa-bawa dan ia jaga. Air mata tak pernah bisa memuaskan hatinya.

"Kau tahu, suamiku yang selalu kuharapkan akan bisa menggantikanmu. Tadi pagi kusaksikan sedang berduaan dengan perempuan yang tak kukenal. Mereka berdua masuk ke sebuah penginapan. Setelah kubuntuti, dan kucari informasi, mereka memesan satu kamar. Dan betapa tak mengerti aku harus memahami."

Dia seperti sedang bercerita kepada seseorang. Mungkin ia hanya bisa menumpahkan kesedihannya pada album kenangannya. Berharap sesosok lelaki yang terpampang di lembaran album itu mendengarkan kisahnya dan memeluknya menenangkan.

menangkap gerimis

Padang rumput yang selalu indah, dan basah di pagi hari. Butiran embun yang menempel di rumput berpindah ke pantatku setelah aku duduk di atasnya. Di antara kabut tebal dan anganku sendiri, berkelebat peristiwa beberapa tahun lalu. Saat aku masih seorang gadis kecil. Bayangan itu semakin jelas tertangkap indera penglihatku, yang sekaligus membawaku lebih jauh dari realita.

Kaki kecil itu menari, melompat, berputar dengan lincah. Tangan kecilnya pun tak henti-hentinya berusaha menangkap gerimis. Sedangkan seorang bocah lelaki yang bersamanya, hanya duduk, tertawa terpingkal-pingkal sambil sesekali berteriak memberi semangat, "Ayo tangkap, tangkap gerimisnya !".

Lelaki teman kecilku. Tapi aku lebih suka menyebutnya belahan jiwaku. Kami banyak menghabiskan waktu bersama. Terlebih saat gerimis. Lelaki kecilku selalu membawaku ke tempat ini dan menemani bermain gerimis meskipun orangtua kami tak pernah bosan melarang keluar rumah saat hujan. Ya, alasan wajar para orangtua karena tidak menginginkan anak mereka sakit. Tapi kami tetap bocah kecil yang hanya mengerti tentang bersenang-senang.

Dia paling mengerti aku, setidaknya itulah anggapanku dulu. Dia bahkan rela telinganya dijewer ibuku gara-gara membawaku kabur. Satu-satunya alasan bertahan adalah karena dia tahu kalau aku amat suka gerimis, melebihi seluruh boneka yang kumiliki di rumah.

Tidak ada satupun yang tau tentang rahasia Tuhan. Gerimis yang tadinya sangat kucintai mendadak membuatku muak dan menjadi salah satu hal yang tak lagi ingin kusentuh. Aku sadar ini rencana Tuhan. Dia mengambil sebelah jiwaku untuk kembali ke sisiNya. Membiarkanku sendiri bersama gerimis yang kini seolah menghujam kepalaku teramat keras. Bayangannya selalu muncul di balik gerimis.

Sekian belas tahun berlalu. Aku kembali ke tempat ini disaat langit abu-abu. Muncul keyakinan kalau sebentar lagi akan hujan. Aku sengaja menantang hatiku untuk tidak lagi terpuruk. Aku ingin menyentuh gerimis dan bayangannya untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun itu.

Gerimis menerpa wajahku ketika aku menengadah ke atas. Aku dapat merasakan dia masih duduk di sampingku sambil tersenyum. Aku pun tersenyum meskipun dengan air mata yang bercampur gerimis. Aku ikhlas demi lelaki kecilku, juga demi seseorang yang saat ini datang dan membentangkan payung di atas kepalaku.

Terima kasih Tuhan telah mengirimkan "lelaki kecil yang lain" di kehidupanku.

Thursday, August 4, 2011

Tak tersampaikan

"Ya aku disini, Bu. Segera pulang, bagaimana?" istriku terbiasa sekali menelponku saat aku pergi. Ia tahu jadwalku dengan detail. Tidak menjawab teleponnya berarti mala petaka. Ia seperti sekretaris pribadiku yang mengendalikan setiap langkahku.

" Yank ? dari ibu ?" tanya perempuanku sedih. Beberapa kali menyusun waktu bertemu untuk berdua hanya beberapa jam saja dengan perempuanku, selalu istriku, meneliti tiap menit menitku. Aku tak berdaya. Aku terpenjara. Aku menatap perempuanku, wajahnya sedih sekali.

" Ya. Ia meminta aku segera pulang." Aku membuang muka. Aku pengecut. Kenapa tidak kumatikan saja HP ku dan menikmati waktu bersama perempuanku?

" Yank, pulanglah! Antar aku ke pangkalan taksi dan aku pulang sendiri saja." katanya penuh duka. Ia mencoba tersenyum. Pedih. Kuraih jemarinya, kutumpahkan cintaku disana, dimata indahnya, kucurahkan rinduku di tatapnya ...

>>>

Saat ini hujan. Perempuanku selalu duduk disana, menghitung butiran hujan satu demi satu. Dan aku tahu benar apa yang dipikirkannya. Ia memikirkan aku, kemudian ia akan berjalan ke depan komputernya, duduk dan menuliskan cerita. Cerita-cerita tentang dia dan aku. Ia tak pernah merasakan kehadiranku, padahal setiap saat aku disampingnya, aku mengetahui semua kegiatannya. Apa yang dilakukannya. Kapan dia tidur, kapan dia bangun, kapan dia menangis dan memanggilku " Yank ", kapan dia menulis cerita tentang aku, kapan ia menghitung air hujan satu satu.

Aku tahu semua karena aku selalu disampingnya. Tapi ia tak pernah bisa melihatku. Bahkan ketika aku dengan lembut memeluknya dari belakang dan membisikkan kata rindu sambil membelainya. Ia tak pernah tahu. Ketika aku duduk di sampingnya dan memperhatikan ia menghitung air hujan satu satu, perempuanku tak pernah melihat kehadiranku. Saat aku menemaninya berjam-jam di malam yang sepi dan dia tidak sama sekali memicingkan mata karena memikirkan aku. Aku ingin sekali memanggil medium atau perantara seperti Whoopy, yang bisa mempertemukan dua kekasih dalam film Ghost, tapi aku tak mampu. Aku ingin sekali berbicara dan menggoda perempuanku dengan lagu " Yank hujan turun lagi " dan melihatnya tersenyum malu. Tapi aku tidak bisa. Padahal aku di dekatnya setiap saat.

Saat ini, perempuanku masih duduk di depan komputer, ia sedang mengetik cerita pendek tentang aku, tentang perjalananku setelah mengantarnya naik taksi dan aku terburu-buru pulang karena istriku marah, tentang kecelakaan dalam hujan yang merenggut nyawaku. Tentang smsnya yang tak pernah terbalas berhari-hari kemudian karena aku tidak bisa membalasnya dan sms itu terbaca istriku. Tentang akhir semua pertemuan sembunyiku dengannya. Tentang rasa rindu yang semakin sesakkan dada.

Saat ini aku di sampingnya, kubelai rambut panjangnya, kunikmati indah matanya yang terbuka. Ah perempuanku seandainya tidak terjadi kecelakaan itu, aku tak kan pernah bisa menungguimu setiap saat seperti ini. istriku tak kan pernah membiarkan ini terjadi. Tidak akan pernah.

Perempuanku, aku sangat mencintaimu dan akan selalu menjagamu di sini, di sampingmu dan menemanimu menghitung air hujan satu satu karena hanya engkaulah kekasihku ...

Monday, July 4, 2011

sAtu maLam

Malam ini terasa sunyi sekali. Diajeng perlahan merapatkan kain yang sedikit tersingkap angin yang masuk diantara anyaman bambu itu. Sedikit membuatnya dingin, kelelahan jelas terlihat dari raut wajahnya. Di wajah itu tak sedikitpun terlihat gairah, yang terdengar hanya helaan nafas panjangnya. Seolah ingin mengeluarkan semua kelelahan yang ada di dalam tubuh dan pikirannya.

Bunyi binatang malam sedikit memecah keheningan. Ditambah bunyi derit dipan bambu saat Diajeng menghadap pintu seolah ingin membukanya dan lari membelah malam. Matanya menerawang menggapai bayangan yang selalu ingin direngkuhnya. Bayangan yang muncul setiap merebahkan diri di dipan bambu ini. Keinginan yang tiba-tiba muncul menggelitik hati dan pikiran. Ah ... pikiran itu sudah membuat darah Diajeng berdesir ... Darah yang selalu membeku ... tapi berdesir setiap pikiran menerawang.

Tok ... tok ... tok ...
ketukan pintu membuyarkan lamunannya ... Sontak Diajeng beranjak dari tidurnya. Kangmas tidak akan suka melihatnya berbaring. Terburu-buru dirapihkannya rambut yang berantakan. Langsung dibukakannya pintu sambil tersenyum dan mengucapkan salam.

Wajah Kangmas keruh seperti ada yang dipikirkannya. Diajeng tahu pasti ada masalah di perkebunan. Tanpa ingin tahu apa masalahnya. Langsung disiapkannya air hangat untuk mandi dan teh manis hangat kesukaan Kangmas. Diajeng menyiapkan pakaian dan merapikan dipan yang sempat ditidurinya tadi ...

Sayup-sayup terdengar senandung diantara bunyi air, ah pasti air itu sudah mulai bisa menghilangkan penat. Sedikit senyum tersungging di bibir Diajeng, setidaknya ia pun tidak perlu terlalu takut bila amarah itu akan beralih padanya ... seperti biasa ... Tapi senyum itu mendadak hilang dan berganti kegelisahan. Bila Kangmas gembira hatinya sudah pasti menginginkan dirinya. Ah kenapa selalu harus muncul perasaan ini. Diajeng semakin tegang saat tak terdengar lagi senandung itu. Sebentar lagi Kangmas akan memasuki kamar ini, memintanya membantu menghilangkan kelelahan dan melepaskan semua kepenatan.

Ah seandainya semua ini tidak harus terjadi. Pastilah Diajeng tidak akan segelisah ini, seandainya semua bisa dilakukannya dengan senang hati, dengan semua keiklasan penyerahan diri. Malam ini akan menjadi malam yang indah dan selalu ditunggu-tunggunya, layaknya sepasang suami istri yang memadu kasih. Tersentak Diajeng merasakan hangatnya nafas di tengkuk, pelukan Kangmas tidak membangkitkan apapun. Yang ada hanya rasa tidak suka dan penolakan, pasti Kangmas bisa merasakan itu ... tapi mana mungkin seorang pemilik perkebunan seperti Kangmas mau menerima penolakan yang selalu dilakukan Diajeng.

Perlahan direbahkannya Diajeng di dipan bambu. Tanpa sedikitpun melepaskan pelukannya, seolah takut Diajeng akan lari dan meronta. Tapi malam itu Diajeng malas melakukan penolakan, bukan karena hasratnya mulai terpancing tapi karena munculnya keiklasan menyerahkan diri. Keiklasan yang dicoba ditanamkan dalam dirinya yang selama ini selalu enggan dilakukan. Malam ini akan menjadi malam yang panjang, pikiran Diajeng menerawang melanjutkan yang tadi terputus, menerawang membelah pekatnya malam.

Kangmas semakin liar dan tidak memberikan sedikitpun ruang untuk bernafas apalagi bergerak. Diajeng bergerak sesuai keinginan Kangmas dan membiarkan apapun yang ingin dilakukan Kangmas. Perlahan darah yang membeku mulai menghangatkan seiring penyerahan diri yang semakin iklas, tidak peduli derit dipan bersaing dengan binatang malam.

Pikiran Diajeng semakin menerawang jauh berlari mengejar bayangan yang tadi sudah ada di depannya. Sekuat tenaga dikejarnya bayangan itu, tidak peduli onak yang melukai kaki, tidak peduli bukit yang harus di daki, tidak peduli derasnya sungai yang menghadang, tidak peduli gelapnya malam yang menyulitkan pandangan. Terengah-engah Diajeng akhirnya harus berhenti, kaki ini sudah tidak kuat lagi berlari. Bahkan untuk berjalanpun rasanya sulit, akhirnya hanya bisa bersimpuh dengan kaki lemas. Nafasnya memburu seolah tidak ada lagi udara dan bayangan itupun tidak dapat ditangkapnya.

Diajeng tersadar dari lamunannya, ditolehkannya kepala dan dilihatnya Kangmas tersenyum. Diajeng membalas senyum itu dan tak tahu apa artinya. Penyerahan dirinya menyenangkan Kangmas, kelelahan dan masalah Kangmas telah hilang dan malam ini Kangmas akan tidur nyenyak. Tanpa pernah tahu apa yang sebenarnya ada dalam pikiran Diajeng. Kenapa juga harus bertanya seperti itu. Pernikahan ini sudah bertahun-tahun dan ritual inipun sudah bertahun-tahun berlangsung. Hanya keiklasan yang bisa menyelesaikannya.

Kangmas menyeka peluh yang mengalir dan merapikan sarungnya lalu mengecup kening Diajeng. Mengucapkan pujian dan senyum yang penuh arti, lalu melangkah ke kamarnya sendiri utnuk tidur setelah melepaskan semuanya dengan tuntas. Tinggallah Diajeng sendiri di kamar itu, kembali hanya ditemani keheningan dan suara binatang malam. Mata Diajeng masih enggan terpejam, ditatapnya langit-langit kamar seolah mencari yang hilang. Tapi bayangan itu tak muncul lagi, perlahan dimiringkannya tubuhnya yang telah menghadap tembok di tariknya kain tipis menutup tubuh.

Dipejamkannya mata berharap tertidur dan bermimpi ...

Tuesday, June 7, 2011

Buat Kamu

Dimanapun kamu berada saat ini ...
Kamu harus tahu bahwa aku tak akan pernah menyesal mengenalmu lalu jatuh cinta. Aku tak akan pernah berharap akan jatuh cinta pada tempat yang salah. Bahkan aku tak pernah menduga akan bisa jatuh cinta. Aku memang sering suka, tapi aku belum pernah merasa jatuh cinta. Cuma sekedar kagum dan suka. Aku tak pernah merasa begitu menyayangi, tak pernah merangkai mimpi mereka akan menjadi seseorang yang akan mendampingiku dalam suka dan duka. Tapi entah denganmu perasaanku jadi lain. Yang jelas baru kali ini aku merasakan perasaan sayang yang sangat dalam.

Dimanapun kamu berada saat ini ...
Perlu kamu ketahui bahwa kamu adalah seorang yang petama kali mampu menggugah perasaanku serta membawaku terbang ke tanah kasih yang agung, dimana hari-hari berlalu laksana mimpi. Kamu adalah "adam" bagi jiwaku, yang selalu menghabiskan waktu lamunku. Ingin sebenarnya aku melupakan kamu untuk sejenak, agar aku dapat menikmati hari-hari tanpa bayangmu. Tapi ... ternyata aku tak bisa.

Dimanapun kamu berada saat ini ...
Akankah kamu percaya bila kukatakan bahwa aku bahagia dengan cinta yang kupunya. Dan akan kutitipkan cintaku itu pada bintang di langit agar kilaunya tetap kekal sepanjang masa. Biarkan angin yang membisikkan anganku, biarkan hujan yang mencurahkan mimpi di hatimu. Kamu akan tetap menempati sisi kehidupanku yang berarti, tetap menjadi bagian hidupku tanpa berubah peran.

Dimanapun kau berada saat ini ...
Bagaimanapun juga kuucapkan terimakasih untuk semua yang telah kamu lakukan, kamu berikan buatku. Meskipun kamu akan meninggalkan dan melupakanku. Tapi tolong jangan minta kepadaku untuk melupakanmu, sebab aku yakin aku tak akan bisa. Aku akan mengenangmu sebagai sesuatu yang indah yang pernah terjadi dalam hidupku.

Dimanapun kau berada saat ini ...
Ketahuilah bahwa malam ini, saat kutatap rembulan, entah salam atau tembang abadi yang membisik dalam lelapku. Namun yang pasti ada seungkap doa yang akan selalu kukirimkan untuk keselamatan dan kebahagiaanmu.

Sepenggal Cerita

"Rasanya begitu berat untuk berpisah denganmu. Sebenarnya aku tak sanggup." ucap perempuan itu pelan sambil menatap lembut lelaki yang duduk di sampingnya. "Aku ingin selalu bersamamu setiap saat karena berada di sampingmu telah membuatku amat bahagia" lanjutnya lagi, kali ini dengan tekanan.

Lelaki itu menggenggam erat jemari tangan dan mengecup keningnya dengan lembut. Mungkin untuk megusir keresahan dan ketakutan yang ia tangkap dalam sinar mata dan intonasi perempuan itu. "Pun demikian denganku, aku tak ingin melepaskanmu pergi," ucap lelaki itu dengan intonasi dan tekanan yang nyaris sama dengan perempuannya.

Sejenak perempuan itu memejamkan mata, merasakan sentuhan lembut dari tangan dan bibir lelaki yang mendarat lagi di keningnya. Ia mengangkat wajahnya, menatap lekat-lekat wajah lelaki itu, lelakinya. Saat itu pandangan mereka bertemu. Mereka sama-sama terdiam dan terhanyut dalam tatapan. Jemari tangan saling menggenggam, seolah saling menguatkan dan menenangkan. Tak ada satu pun kata yang terucap dari bibir mereka, namun sepertinya mata mereka yang berbicara banyak. Ada percakapan dalam kebungkaman yang membuat keduanya mengerti dengan apa yang mereka rasakan.

Lantas perempuan itu memeluk lelakinya begitu erat, seolah tak ingin melepaskannya. "Aku sangat mencintaimu, sekali lagi aku ulangi aku amat sangat mencintaimu" katanya di sela isak yang tertahan. "Aku takut kau akan tinggalkanku. Sangat takut" lanjutnya lagi terbata-bata. Kini isaknya tak lagi samar, sudah jelas terdengar meski pelan. “Apalagi setelah kau bilang temanmu semalam mengatakan bahwa cinta yang kupunya hanyalah sebesar kerikil sementara cinta yang kau miliki sebesar rumah, aku takut kau akan berubah pikiran lalu meninggalkanku” nadanya begitu sedih. "Aku yakin di luar sana banyak yang menawarkan hatinya untukmu, aku takut kau akan berpaling. Aku tahu mereka lebih indah dan cantik dariku," suaranya begitu cemas dengan nada yang lebih mirip sebuah gumaman.

"Hei, kumohon cukupkan" lelaki itu mengingatkan. Iapun memeluk semakin erat. Ia ingin perempuannya bisa merasakan betapa ia amat sangat menyayanginya, begitu mencintainya hingga tak ingin melepasnya pergi. "Yang harus kau ketahui, aku tak pernah peduli betapapun indah dan cantiknya yang lain itu. Buatku engkaulah yang terindah."

"Namun aku selalu siap dengan hal terburuk yang mungkin saja terjadi, jika itu benar-benar mesti terjadi. Aku rela jika memang kebahagiaanmu ada bersama dengan yang lain. Tanpa kau perlu mengatakan bahwa cepat atau lambat aku yang akan pergi meninggalkanmu karena menemukan yang lebih ku cintai dan kau hanyalah batu loncatan bagiku" ucap perempuan itu begitu lirih sambil meneteskan air mata

"Kumohon kekasih," lelaki itu menyela lagi. "Aku tak ingin mendengarmu mengatakan hal seperti itu lagi. Apa kau tidak merasakan besarnya cintaku?" "Aku tak mungkin meninggalkanmu " ucapnya sambil mengusap air mata perempuannya

“Mengapa kau terlihat begitu yakin atas ucapan temanmu semalam ?” kali ini perempuan itu yang menyela. “Jika kau begitu yakin bahwa aku akan meninggalkanmu, untuk apa kita jalani hari bersama. Atau kau merasa aku tak pantas untukmu. Kau begitu baik untukku. terlalu baik malah. Aku hanyalah ........."

"Hanya seorang perempuan dengan masa lalu yang kelam ?" lelaki itu memotong lagi "Lalu ada masalah apa dengan itu semua ? Heuh ?" wajahnya menegang dan nadanya sedikit tinggi. "Aku tak pernah pedulikan itu."
"Aku mencintaimu," potong lelaki itu yakin. "Awalnya mungkin memang hynya sebuah simpati, Tapi apakah kau kira rasa itu tak mampu berkembang ? Aku yakin tak salah dalam menilai perasaanku padamu. Kesederhanaan, ketulusan dan kejujuranmu. Itu semua sudah cukup untuk membuat rasa itu terus berkembang hingga aku tahu bahwa aku mencintaimu" lanjut lelaki itu. "Aku mencintai apapun dirimu. Aku mencintaimu apa adanya. Aku tak peduli dengan semua kekelaman yang ada dalam masa lalumu, bila memang kau anggap masa lalumu begitu kelam. Itu semua tak akan merubah perasaanku kepadamu.”

Rona wajah perempuan itu seketika berubah meski dengan air mata yang membasahi pipinya. "Kau sungguh-sungguh dengan apa yang kau katakan barusan?" tanyanya.

Lelaki itu mengangguk pelan dengan sebuah senyum di wajahnya. "Yakinlah," katanya. “Tetapi berikanlah aku juga keyakinan bahwa cintamupun akan mampu berkembang dan kita menjalani dengan sebuah keyakinan bahwa setiap niat baik akan mendapatkan restu dan perlindunganNya sebab kita tidak hanya antara aku dan kau tetapi Dia yang selalu ada diantara kita” sambil menatap hangat perempuannya.

"Ah, terimakasih." ucap perempuan itu sedikit lirih sambil menyeka air mata yang masih tersisa. "Aku tak sanggup membayangkan bila hal itu benar-benar terjadi."

Lelaki itu melihat jam yang bergantung diatas langit-langit stasiun, jam tiga kurang lima belas menit. Ini berarti lima belas menit lagi kereta api itu akan melaju, membawa para penumpangnya ke kota tujuan. Membawa perempuannya pulang ke kotanya. Membawa perempuan itu jauh darinya dan meninggalkannya dengan kesendirian, sesuatu yang sudah sejak lama ia akrabi. "Aku turun sekarang ?"

"Sekarang ?" perempuan itu bertanya. Nadanya tidak rela, persis sama dengan tatapannya.

"Ya," jawab lelaki itu pelan sambil mengangguk. "Aku harus jalan sekarang agar tidak kemalaman sampai di kotaku."

"Kapan kita akan bertemu lagi?"

"Bukankah setiap hari kita akan bertemu dalam mimpi-mimpi malam. Kau akan selalu menjadi tokoh utama dalam setiap cerita mimpiku dan menjadikanmu bunga tidurku yang paling indah" goda lelakinya sambil menahan senyum

"Bukan itu yang kumaksud. tapi secara nyata.", sahut perempuan itu sambil tersenyum malu

"Pertengahan bulan depan kita akan bertemu di kotamu," lanjut lelakinya

Perempuan itu mengangguk pelan dengan senyum di bibirnya. "Aku selalu menunggu kedatanganmu."

Lalu perempuan itu menicum tangan lelakinya dan lelaki itu mengecup lagi pipi dan kening perempuannya dengan lembut. Sebuah kecup perpisahan dan lambaian tangan. Setelah itu ia pun bergegas pergi meninggalkan gerbong tersebut. Masih ada beberapa mata yang menatapnya dengan tatapan heran.

Dan perempuan itu membiarkan lelakinya melangkah pergi, meninggalkannya duduk sendirian walaupun ia masih belum rela dengan perpisahan itu. Takut, tiba-tiba saja rasa itu kembali hadir, ingin ia memanggil
lelakinya itu, namun terlambat. Punggung lelakinya sudah tidak tampak, begitu cepat dia melangkah. Lantas ia melihat dari jendela, mengedarkan pandangan keluar, berharap melihat lelakinya ada di bawah untuk melepas kepergiannya sambil melambaikan tangan, namun lelakinya itu tak ada di sana seperti yang diharapkan. Tanpa disadarinya, ada aliran hangat yang menggenang lagi di sudut matanya.

Mengapa begitu cepat waktu berlalu? Mengapa begitu singkat pertemuan ini ? Mengapa kebersamaan ini mesti berumur pendek ? Bathin perempuan itu masih belum rela. hanya sebentar mereka bertemu dan menikmati kebersamaan. Namun itu sangatlah indah. Begitu indah. Mungkin yang terindah baginya.

Waktu menunjukkan pukul 15.00 kereta mulai bergerak pelan, membawa kenangan, asa dan harapan serta keyakinannya. Perempuan itu membuka lagi ponselnya, ia masih menulis pesan "Mengapa kau langsung pergi? Sebenarnya aku berharap masih bisa melihatmu tadi saat kereta melaju"

Ponselnya bergetar, ada pesan masuk. Segera ia membukanya "Maafkan aku tak menemanimu hingga kereta berlalu. Aku tak ingin kau melihatku bersedih, aku langsung meninggalkan stasiun dan melanjutkan perjalanan karena aku ingin berbagi kesedihanku dengan semua yang kulalui. Sedih karena harus berpisah denganmu, kekasihku." Begitu isi pesannya. Pesan yang menyebabkan matanya langsung terbuka lebar. Pesan yang membuatnya kembali menitikkan air mata. Pesan yang semakin membuatnya yakin akan cinta lelakinya itu. Pesan yang menguatkannya untuk menjalani semua yang telah digariskan oleh Sang Pemilik Segala.

Pertemuan Senja

Senja itu, saat jam kerja di atas pukul tiga, kutemui sosokmu yang berdiri tegap seakan menantiku tuk menepati janji di depan counter salah satu maskapai penerbangan domestik. Hai ... ! sapaku seraya tersenyum begitu kau melihat ke arahku seolah-olah telah hafal dengan irama detak sepatuku atau hanya nalurinya saja yang mengabarkan kehadiranku. "Yuuk kita cari tempat ngobrol yang enak," ujarmu, lantas tanpa menunggu lagi, kitapun perlahan meninggalkan tempat dan mencari sudut yang tenang untuk cengkeramai senja. Di sudut sebuah cafe yang tidak seberapa ramai, aku duduk dihadapanmu dan memesan orange juice lalu menanyakan oleh-oleh yang sempat kau ucapankan di dalam percakapan telepon kita beberapa saat yang lalu, sekedar menutupi rasa jengahku atas pertemuan itu.

Lantas percakapanpun mengalir, kita bercerita tentang apa saja yang terlintas di benak sambil sesekali melempar senyum dan kerlingan. Begitulah, aku tak pernah menghitung percakapan kita yang keberapa dalam sekian lama waktu bergulir. Pada mulanya aku tak mengerti mengapa kamu mau bertemu denganku dan betah menunggu hingga aku datang. Apakah aku memang pantas untuk ditunggu?. Benarkah karena rasa sayang seperti yang selalu kau ucapkan? Ataukah hanya sekedar menyenangkan aku yang sudah meninggalkan rutinitas tuk hadir senja itu di hadapanmu?

Kunikmati setiap percakapan kita dengan latar pendar cahaya senja sebab aku tak pernah merasakan hal demikian sebelumnya. Bukankah sesuatu yang aneh jika aku duduk sendirian di tempat ini hanya untuk mengagumi panorama senja, seolah tak ada hal lain yang perlu kulakukan. Sebab aku berpikir betapa tidak lazimnya kaum lelaki jika meromantisasi senja sedemikian rupa dengan dramatisasi yang berlebihan. Barangkali kau bukan termasuk tipe lelaki yang demikian dan rasanya tidak butuh kawan untuk menghayati senja, tidak hanya seorang diri semata.

Cinta ... mungkin bagimu adalah sesuatu yang sangat melenakan hingga melayang. Sementara aku sebagai seorang mantan pecinta yang pernah mabuk kepayang pada seseorang dan tak lekang menganggap cinta adalah sesuatu yang tak terjangkau dan kadang tak masuk akal, seperti menghadirkan kegilaan sesaat!. Begitulah kau dan aku. Senja terlewati detik demi detik. Kata-katapun berhamburan satu satu.

Sekilas orang-orang yang duduk dan berada di sekitar, memperhatikan seolah kita layaknya sepasang kekasih. Dan saking bersemangatnya akan cinta, kau sering membuat jengah aku dengan menyebut kata sayang sepanjang senja itu. Sambil sesekali menyentuh lengan, menyingkirkan helaian rambut di pipi, menggenggam bahkan mengecup tanganku, sepertinya kau tidak peduli bagaimana sebenarnya aku harus menahan gejolak saat merasakan semua sentuhan itu.

Hatiku terasa riang dan wajahpun berseri, membayangkan seandainya aku tidak hanya sesaat denganmu, kau dan aku yang akan selalu menghabiskan senja. Tetapi .. apa boleh buat, di saat semua rasa begitu membuncah, kitapun harus berpisah dan itu berarti pertemuan senja kita harus segera berakhir. Hmmm ! Pada akhirnya kuanggap kau mahluk melankolis dan sok romantis yang berbahaya untuk diajak bercengkrama. Aku sempat berpikir tak ingin punya kekasih sepertimu, sebab mengenalmu seolah melihat jendela rumah seorang penyair yang sebenarnya.

Aku adalah perempuan realis. Bahkan semua imajinasiku menjurus kalkulatif dalam tatanan hitungan matematis. Semuanya tersusun rapi secara sistimatis. Segala sesuatunya harus kuperhitungkan dan aku semestinya tidak lupa bagaimana caranya agar imajinasiku kembali liar menari bebas tanpa beban. Ups ... sebenarnya siapa diantara kita yang melankolis? yang realis? Kau ataukah aku?.

Ah, apakah masih ada kemungkinan di senja lain kau akan mengajak aku tuk cengkeramai hari seperti ini? Sekian tahun bersamamu yang telah dilewati adalah saat dimana aku ingin berubah menjadi lebih baik daripada yang sudah-sudah. Memperbaiki diri tapi tetap menjadi diri sendiri dan tidak menjadi seperti apa yang kau mau atau sebaliknya. Bagiku hidup adalah sebuah anugerah yang terindah. Dan takdir merupakan pilihan yang kutemui dalam jelang waktu yang bergerak … begitulah kita.

Sebagaimana rotasi bumi yang menyebabkan perubahan alam yang senantiasa menghadirkan panorama senja di belahan dunia manapun. Sampailah gelap berlayar dan malam mulai digelar, lalu kita berpisah dengan salam dan lambaian tangan, sementara itu siapa yang tahu maut diam-diam tengah mengintai seolah mengisyaratkan bahwa senja tak sepenuhnya lagi milik kita yang abadi, tidak juga puisi. Meski panorama senja bisa memasuki bingkai jiwa penyair mana saja yang tergugah akannya ... Adakah yang abadi di muka bumi?. Kenangan yang sempat tergoreskan siapa tahu kelak hanya tinggal sejarah usang di sudut ruang dan waktu yang mungkin akan terlupakan olehmu.

Aku hanyalah kawanmu, itupun bila kau masih mau mengakuinya kelak. Selalu dan selalu ingin menjadi kawanmu. Tak peduli kau sedang dengan perempuan lain ataupun sebaliknya karena perkawanan tak pernah menyaratkan apa-apa. Walau satu saat kemarahan serta kebencian hadir dan tidak mungkin beranjak pergi dari ruang hatimu yang telah membeku dalam kurun waktu tak terukur. Kau akan tetap menjadi kawanku, seseorang yang mungkin akan mengajak lagi berjemur dan berbincang dalam hamparan matahari senja, meski kadang aku enggan mengangankan seseorang dalam kenangan yang telah usai.